Roymundussetya’s Weblog

Just another WordPress.com weblog

Posted by roymundussetya pada Januari 19, 2012

POS-UN-SMP-SMA-SMK-2012

Posted in Uncategorized | Leave a Comment »

PEMILIHAN BAHAN DAN MEDIA PEMBELAJARAN

Posted by roymundussetya pada Januari 17, 2012

I. Pendahuluan
A. Bahan Ajar
Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai.
Termasuk jenis materi fakta adalah nama-nama obyek, peristiwa sejarah, lambang, nama tempat, nama orang, dsb. (Ibu kota Negara RI adalah Jakart; Negara RI merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945). Termasuk materi konsep adalah pengertian, definisi, ciri khusus, komponen atau bagian suatu obyek (Contoh kursi adalah tempat duduk berkaki empat, ada sandaran dan lengan-lengannya).
Termasuk materi prinsip adalah dalil, rumus, adagium, postulat, teorema, atau hubungan antar konsep yang menggambarkan “jika..maka….”, misalnya “Jika logam dipanasi maka akan memuai”, rumus menghitung luas bujur sangkar adalah sisi kali sisi.
Materi jenis prosedur adalah materi yang berkenaan dengan langkah-langkah secara sistematis atau berurutan dalam mengerjakan suatu tugas. Misalnya langkah-langkah mengoperasikan peralatan mikroskup, cara menyetel televisi. Materi jenis sikap (afektif) adalah materi yang berkenaan dengan sikap atau nilai, misalnya nilai kejujuran, kasih sayang, tolong-menolong, semangat dan minat belajar, semangat bekerja, dsb.
Untuk membantu memudahkan memahami keempat jenis materi pembelajaran aspek kognitif berikut ini :
A. Fakta
Menyebutkan kapan, berapa, nama, dan di mana.
Contoh:
Negara RI merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945; Seminggu ada 7 hari; Ibu kota Negara RI Jakarta; Ujung Pandang terletak di Sulawesi Selatan.
B. Konsep
Definisi, identifikasi, klasifikasi, ciri-ciri khusus.
Contoh:
Hukum ialah peraturan yang harus dipatuh-taati, dan jika dilanggar dikenai sanksi berupa denda atau pidana.

C. Prinsip
Penerapan dalil, hukum, atau rumus. (Jika…maka….).
Contoh:
Hukum permintaan dan penawaran (Jika penawaran tetap permintaan naik, maka harga akan naik).
D. Prosedur
Bagan arus atau bagan alur (flowchart), algoritma, langkah-langkah mengerjakan sesuatu secara urut.
Contoh:
Langkah-langkah menjumlahkan pecahan ialah:
1. Menyamakan penyebut
2. Menjumlahkan pembilang dengan dengan pembilang dari penyebut yang telah disamakan.
3. Menuliskan dalam bentuk pecahan hasil penjumlahan pembilang dan penyebut yang telah disamakan.

Ditinjau dari pihak guru, materi pembelajaran itu harus diajarkan atau disampaikan dalam kegiatan pembelajran. Ditinjau dari pihak siswa bahan ajar itu harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar yang akan dinilai dengan menggunakan instrumen penilaian yang disusun berdasar indikator pencapaian belajar.

B. Pemilihan Bahan Ajar
Masalah penting yang sering dihadapi guru dalam kegiatan pembelajaran adalah memilih atau menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar yang tepat dalam rangka membantu siswa mencapai kompetensi. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam kurikulum atau silabus, materi bahan ajar hanya dituliskan secara garis besar dalam bentuk “materi pokok”. Menjadi tugas guru untuk menjabarkan materi pokok tersebut sehingga menjadi bahan ajar yang lengkap. Selain itu, bagaimana cara memanfaatkan bahan ajar juga merupakan masalah. Pemanfaatan dimaksud adalah bagaimana cara mengajarkannya ditinjau dari pihak guru, dan cara mempelajarinya ditinjau dari pihak murid.
Berkenaan dengan pemilihan bahan ajar ini, secara umum masalah dimaksud meliputi cara penentuan jenis materi, kedalaman, ruang lingkup, urutan penyajian, perlakuan (treatment) terhadap materi pembelajaran, dsb. Masalah lain yang berkenaan dengan bahan ajar adalah memilih sumber di mana bahan ajar itu didapatkan. Ada kecenderungan sumber bahan ajar dititikberatkan pada buku. Padahal banyak sumber bahan ajar selain buku yang dapat digunakan. Bukupun tidak harus satu macam dan tidak harus sering berganti seperti terjadi selama ini. Berbagai buku dapat dipilih sebagai sumber bahan ajar.
Termasuk masalah yang sering dihadapi guru berkenaan dengan bahan ajar adalah guru memberikan bahan ajar atau materi pembelajaran terlalu luas atau terlalu sedikit, terlalu mendalam atau terlalu dangkal, urutan penyajian yang tidak tepat, dan jenis materi bahan ajar yang tidak sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai oleh siswa. Berkenaan dengan buku sumber sering terjadi setiap ganti semester atau ganti tahun ganti buku.
Sehubungan dengan itu, perlu disusun rambu-rambu pemilihan dan pemanfaatan bahan ajar untuk membantu guru agar mampu memilih materi pembelajaran atau bahan ajar dan memanfaatkannya dengan tepat. Rambu-rambu dimaksud antara lain berisikan konsep dan prinsip pemilihan materi pembelajaran, penentuan cakupan, urutan, kriteria dan langkah-langkah pemilihan, perlakuan/pemanfaatan, serta sumber materi pembelajaran.
Proses kegiatan belajar mengajar di awali dari guru, yang meliputi proses Pelaksanaan pembelajaran selama ini dilakukan dengan melalui proses yang harus berkesinambungan. Proses penyusunan desain instruksional pemilihan materi pelajaran (content selection) dilakukan setelah topik di pilih, tujuan instruksionlakhusus di rumuskan setelah alat evaluasi (tes) di tentukan. Ketepatan materi dan sumber di mana materi tersebut diperoleh, begitupun prosedur pemilihan sangat penting dikuasai oleh para guru dan dosen.
Kegiatan belajar siswa di dasarkan atas bahan pelajaran (materi pelajaran), materi pelajaran ini mendukung tercapainya kompetensi dasar. Yang di maksud dengan Materi/bahan pembelajaran (menurut Kemp, 1977:44), materi pelajaran dalam hubungan dengan proses penyusunan design instruksional merupakan gabungan antara pengetahuan, fakta dan informasi yang terperinci), keterampilan (langkah-langkah, prosedur, keadaan, dan sayarat-syarat) dan faktor sikap. Kemp membedakan knowladge skills and attitude. Berbeda dengan pendapat Kemp adalah pendapat Merril (1977, 37) yang membedakan isi materi ) pelajaran menjadi 4 yakni faktam, konsep prosedur dan prinsip.

C. Pemilihan Bahan Ajar Dalam Pembelajaran Berbasis Kompetensi (Pbk)
Pembelajaran berbasis kompetensi didasarkan atas pokok-pokok pikiran bahwa apa yang ingin dicapai oleh siswa melalui kegiatan pembelajaran harus dirumuskan dengan jelas. Perumusan dimaksud diwujudkan dalam bentuk standar kompetensi yang diharapkan dikuasai oleh siswa. Standar kompetensi meliputi standar materi atau standar isi (content standard) dan standar pencapaian (performance standard). Standar materi berisikan jenis, kedalaman, dan ruang lingkup materi pembelajaran yang harus dikuasi siswa, sedangkan standar penampilan berisikan tingkat penguasaan yang harus ditampilkan siswa. Tingkat penguasaan itu misalnya harus 100% dikuasai atau boleh kurang dari 100%. Sesuai dengan pokok-pokok pikiran tersebut, masalah materi pembelajaran memegang peranan penting dalam rangka membantu siswa mencapai standar kompetensi.
Kapankah materi pembelajaran atau bahan ajar ditentukan atau dipilih? Dalam rangka pelaksanaan pembelajaran, termasuk pembelajaran berbasis kompetensi, bahan ajar dipilih setelah identitas mata pelajaran, standar kompetensi, dan kompetensi dasar ditentukan. Seperti diketahui, langkah-langkah pengembangan pembelajaran sesuai KBK antara lain pertama-tama menentukan identitas matapelajaran. Setelah itu menentukan standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pembelajaran, strategi pembelajaran/pengalaman belajar, indikator pencapaian, dst. Setelah pokok-pokok materi pembelajaran ditentukan, materi tersebut kemudian diuraikan. Uraian materi pembelajaran dapat berisikan butir-butir materi penting (key concepts) yang harus dipelajari siswa atau dalam bentuk uraian secara lengkap seperti yang terdapat dalam buku-buku pelajaran.
Seperti diuraikan di muka, materi pembelajaran (bahan ajar) merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran yang memegang peranan penting dalam membantu siswa mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Secara garis besar, bahan ajar atau materi pembelajaran berisikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap atau nilai yang harus dipelajari siswa.

Materi pembelajaran perlu dipilih dengan tepat agar seoptimal mungkin membantu siswa dalam mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Masalah-masalah yang timbul berkenaan dengan pemilihan materi pembelajaran menyangkut jenis, cakupan, urutan, perlakuan (treatment) terhadap materi pembelajaran dan sumber bahan ajar. Jenis materi pembelajaran perlu diidentifikasi atau ditentukan dengan tepat karena setiap jenis materi pembelajaran memerlukan strategi, media, dan cara mengevaluasi yang berbeda-beda. Cakupan atau ruang lingkup serta kedalaman materi pembelajaran perlu diperhatikan agar tidak kurang dan tidak lebih. Urutan (sequence) perlu diperhatikan agar pembelajaran menjadi runtut. Perlakuan (cara mengajarkan/menyampaikan dan mempelajari) perlu dipilih setepat-tepatnya agar tidak salah mengajarkan atau mempelajarinya (misalnya perlu kejelasan apakah suatu materi harus dihafalkan, dipahami, atau diaplikasikan).

D. Prinsip-Prinsip Pemilihan Bahan Ajar
Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam penyusunan bahan ajar atau materi pembelajaran. Prinsip-prinsip dalam pemilihan materi pembelajaran meliputi prinsip relevansi, konsistensi, dan kecukupan.
Prinsip relevansi artinya keterkaitan. Materi pembelajaran hendaknya relevan atau ada kaitan atau ada hubungannya dengan pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebagai misal, jika kompetensi yang diharapkan dikuasai siswa berupa menghafal fakta, maka materi pembelajaran yang diajarkan harus berupa fakta atau ghbahan hafalan.
Prinsip konsistensi artinya keajegan. Jika kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa empat macam, maka bahan ajar yang harus diajarkan juga harus meliputi empat macam. Misalnya kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa adalah pengoperasian bilangan yang meliputi penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, maka materi yang diajarkan juga harus meliputi teknik penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.
Prinsip kecukupan artinya materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu siswa menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika terlalu sedikit akan kurang membantu mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak akan membuang-buang waktu dan tenaga yang tidak perlu untuk mempelajarinya.

E. Langkah-Langkah Pemilihan Bahan Ajar
Sebelum melaksanakan pemilihan bahan ajar, terlebih dahulu perlu diketahui kriteria pemilihan bahan ajar. Kriteria pokok pemilihan bahan ajar atau materi pembelajaran adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar. Hal ini berarti bahwa materi pembelajaran yang dipilih untuk diajarkan oleh guru di satu pihak dan harus dipelajari siswa di lain pihak hendaknya berisikan materi atau bahan ajar yang benar-benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Dengan kata lain, pemilihan bahan ajar haruslah mengacu atau merujuk pada standar kompetensi.
Setelah diketahui kriteria pemilihan bahan ajar, sampailah kita pada langkah-langkah pemilihan bahan ajar. Secara garis besar langkah-langkah pemilihan bahan ajar meliputi pertama-tama mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar yang menjadi acuan atau rujukan pemilihan bahan ajar. Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi jenis-jenis materi bahan ajar. Langkah ketiga memilih bahan ajar yang sesuai atau relevan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah teridentifikasi tadi. Terakhir adalah memilih sumber bahan ajar.

Secara lengkap, langkah-langkah pemilihan bahan ajar dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar
Sebelum menentukan materi pembelajaran terlebih dahulu perlu diidentifikasi aspek-aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dipelajari atau dikuasai siswa. Aspek tersebut perlu ditentukan, karena setiap aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar memerlukan jenis materi yang berbeda-beda dalam kegiatan pembelajaran.
Setiap aspek standar kompetensi tersebut memerlukan materi pembelajaran atau bahan ajar yang berbeda-beda untuk membantu pencapaiannya.

b) Identifikasi jenis-jenis materi pembelajaran
Sejalan dengan berbagai jenis aspek standar kompetensi, materi pembelajaran juga dapat dibedakan menjadi jenis materi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Materi pembelajaran aspek kognitif secara terperinci dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu: fakta, konsep, prinsip dan prosedur (Reigeluth, 1987).
1. Materi jenis fakta adalah materi berupa nama-nama objek, nama tempat, nama orang, lambang, peristiwa sejarah, nama bagian atau komponen suatu benda, dan lain sebagainya.
2. Materi konsep berupa pengertian, definisi, hakekat, inti isi.
3. Materi jenis prinsip berupa dalil, rumus, postulat adagium, paradigma, teorema.
4. Materi jenis prosedur berupa langkah-langkah mengerjakan sesuatu secara urut, misalnya langkah-langkah menelpon, cara-cara pembuatan telur asin atau cara-cara pembuatan bel listrik.
5. Materi pembelajaran aspek afektif meliputi: pemberian respon, penerimaan (apresisasi), internalisasi, dan penilaian.
6. Materi pembelajaran aspek motorik terdiri dari gerakan awal, semi rutin, dan rutin.

c) Memilih jenis materi yang sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar
Pilih jenis materi yang sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditentukan. Perhatikan pula jumlah atau ruang lingkup yang cukup memadai sehingga mempermudah siswa dalam mencapai standar kompetensi.
Berpijak dari aspek-aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah memilih jenis materi yang sesuai dengan aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut. Materi yang akan diajarkan perlu diidentifikasi apakah termasuk jenis fakta, konsep, prinsip, prosedur, afektif, atau gabungan lebih daripada satu jenis materi. Dengan mengidentifikasi jenis-jenis materi yang akan diajarkan, maka guru akan mendapatkan kemudahan dalam cara mengajarkannya. Setelah jenis materi pembelajaran teridentifikasi, langkah berikutnya adalah memilih jenis materi tersebut yang sesuai dengan standar kompetensi atau kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Identifikasi jenis materi pembelajaran juga penting untuk keperluan mengajarkannya. Sebab, setiap jenis materi pembelajaran memerlukan strategi pembelajaran atau metode, media, dan sistem evaluasi/penilaian yang berbeda-beda. Misalnya metode mengajarkan materi fakta atau hafalan adalah dengan menggunakan “jembatan keledai”, “jembatan ingatan” (mnemonics), sedangkan metode untuk mengajarkan prosedur adalah “demonstrasi”.
Cara yang paling mudah untuk menentukan jenis materi pembelajaran yang akan diajarkan adalah dengan jalan mengajukan pertanyaan tentang kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa.
Dengan mengacu pada kompetensi dasar, kita akan mengetahui apakah materi yang harus kita ajarkan berupa fakta, konsep, prinsip, prosedur, aspek sikap, atau psikomotorik. Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan penuntun untuk mengidentifikasi jenis materi pembelajaran:

1. Apakah kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa berupa mengingat nama suatu objek, simbul atau suatu peristiwa? Kalau jawabannya “ya” maka materi pembelajaran yang harus diajarkan adalah “fakta”.
Contoh:
Nama-nama ibu kota kabupaten, peristiwa sejarah, nama-nama organ tubuh manusia.
2. Apakah kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa berupa kemampuan untuk menyatakan suatu definisi, menuliskan ciri khas sesuatu, mengklasifikasikan atau mengelompokkan beberapa contoh objek sesuai dengan suatu definisi ? Kalau jawabannya “ya” berarti materi yang harus diajarkan adalah “konsep”.
Contoh :
Seorang guru menunjukkan beberapa tumbuh-tumbuhan kemudian siswa diminta untuk mengklasifikasikan atau mengelompokkan mana yang termasuk tumbuhan berakar serabut dan mana yang berakar tunggang.
3. Apakah kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa berupa menjelaskan atau melakukan langkah-langkah atau prosedur secara urut atau membuat sesuatu ? Bila “ya” maka materi yang harus diajarkan adalah “prosedur”.
Contoh :
Langkah-langkah mengatasi permasalahan dalam mewujudkan masyarakat demokrasi; langkah-langkah cara membuat magnit buatan; cara-cara membuat sabun mandi, cara membaca sanjak, cara mengoperasikan komputer, dsb.
4. Apakah kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa berupa menentukan hubungan antara beberapa konsep, atau menerapkan hubungan antara berbagai macam konsep ? Bila jawabannya “ya”, berarti materi pembelajaran yang harus diajarkan termasuk dalam kategori “prinsip”.
Contoh :
Hubungan hubungan antara penawaran dan permintaan suatu barang dalam lalu lintas ekonomi. Jika permintaan naik sedangkan penawaran tetap, maka harga akan naik. Cara menghitung luas persegi panjang. Rumus luas persegi panjang adalah panjang dikalikan lebar.
5. Apakah kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa berupa memilih berbuat atau tidak berbuat berdasar pertimbangan baik buruk, suka tidak suka, indah tidak indah? Jika jawabannya “Ya”, maka materi pembelajaran yang harus diajarkan berupa aspek afektif, sikap, atau nilai.
Contoh:
Ali memilih mentaati rambu-rambu lalulintas meskpipun terlambat masuk sekolah setelah di sekolah diajarkan pentingnya mentaati peraturan lalulintas.
6. Apakah kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa berupa melakukan perbuatan secara fisik? Jika jawabannya “Ya”, maka materi pembelajaran yang harus diajarkan adalah aspek motorik.
Contoh:
Dalam pelajaran lompat tinggi, siswa diharapkan mampu melompati mistar 125 centimeter. Materi pembelajaran yang harus diajarkan adalah teknik lompat tinggi.

d) Memilih sumber bahan ajar
Setelah jenis materi ditentukan langkah berikutnya adalah menentukan sumber bahan ajar. Materi pembelajaran atau bahan ajar dapat kita temukan dari berbagai sumber seperti buku pelajaran, majalah, jurnal, koran, internet, media audiovisual, dsb.

e) Penentuan Cakupan Dan Urutan Bahan Ajar
Masalah cakupan atau ruang lingkup, kedalaman, dan urutan penyampaian materi pembelajaran penting diperhatikan. Ketepatan dalam menentukan cakupan, ruang lingkup, dan kedalaman materi pembelajaran akan menghindarkan guru dari mengajarkan terlalu sedikit atau terlalu banyak, terlalu dangkal atau terlalu mendalam. Ketepatan urutan penyajian (sequencing) akan memudahkan bagi siswa mempelajari materi pembelajaran.

f) Penentuan cakupan bahan ajar
Dalam menentukan cakupan atau ruang lingkup materi pembelajaran harus diperhatikan apakah materinya berupa aspek kognitif (fakta, konsep, prinsip, prosedur) aspek afektif, ataukah aspek psikomotorik, sebab nantinya jika sudah dibawa ke kelas maka masing-masing jenis materi tersebut memerlukan strategi dan media pembelajaran yang berbeda-beda.
Selain memperhatikan jenis materi pembelajaran juga harus memperhatikan prinsip-prinsip yang perlu digunakan dalam menentukan cakupan materi pembelajaran yang menyangkut keluasan dan kedalaman materinya. Keluasan cakupan materi berarti menggambarkan berapa banyak materi-materi yang dimasukkan ke dalam suatu materi pembelajaran, sedangkan kedalaman materi menyangkut seberapa detail konsep-konsep yang terkandung di dalamnya harus dipelajari/dikuasai oleh siswa. Sebagai contoh, proses fotosintesis dapat diajarkan di SD, SLTP dan SMU, juga di perguruan tinggi, namun keluasan dan kedalaman pada setiap jenjang pendidikan tersebut akan berbeda-beda. Semakin tinggi jenjang pendidikan akan semakin luas cakupan aspek proses fotosintesis yang dipelajari dan semakin detail pula setiap aspek yang dipelajari. Di SD dan SLTP aspek kimia disinggung sedikit tanpa menunjukkan reaksi kimianya. Di SMU reaksi-reaksi kimia mulai dipelajari, dan di perguruan tinggi reaksi kimia dari proses fotosintesis semakin diperdalam.
Prinsip berikutnya adalah prinsip kecukupan (adequacy). Kecukupan (adequacy) atau memadainya cakupan materi juga perlu diperhatikan dalam pengertian. Cukup tidaknya aspek materi dari suatu materi pembelajaran akan sangat membantu tercapainya penguasaan kompetensi dasar yang telah ditentukan. Misalnya, jika suatu pelajaran dimaksudkan untuk memberikan kemampuan kepada siswa di bidang jual beli, maka uraian materinya mencakup: (1) penguasaan atas konsep pembelian, penjualan, laba, dan rugi; (2) rumus menghitung laba dan rugi jika diketahui pembelian dan penjualan; dan (3) penerapan/aplikasi rumus menghitung laba dan rugi.

Cakupan atau ruang lingkup materi perlu ditentukan untuk mengetahui apakah materi yang harus dipelajari oleh murid terlalu banyak, terlalu sedikit, atau telah memadai sehingga sesuai dengan kompetensi dasar yang ingin dicapai. Misalnya dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia: Salah satu kompetensi dasar yang diharapkan dimiliki siswa “Membuat Surat Dinas “. Setelah diidentifikasi, ternyata materi pembelajaran untuk mencapai kemampuan Membuat Surat Dinas tersebut termasuk jenis prosedur. Jika kita analisis, secara garis besar cakupan materi yang harus dipelajari siswa agar mampu membuat surat dinas meliputi: (1) Pembuatan draft atau konsep surat, (2) Pengetikan surat, (3) Pemberian nomor agenda dan (4) Pengiriman. Setiap jenis dari keempat materi tersebut masih dapat diperinci lebih lanjut.

g) Penentuan urutan bahan ajar
Urutan penyajian (sequencing) bahan ajar sangat penting untuk menentukan urutan mempelajari atau mengajarkannya. Tanpa urutan yang tepat, jika di antara beberapa materi pembelajaran mempunyai hubungan yang bersifat prasyarat (prerequisite) akan menyulitkan siswa dalam mempelajarinya. Misalnya materi operasi bilangan penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Siswa akan mengalami kesulitan mempelajari perkalian jika materi penjumlahan belum dipelajari. Siswa akan mengalami kesulitan membagi jika materi pengurangan belum dipelajari.
Materi pembelajaran yang sudah ditentukan ruang lingkup serta kedalamannya dapat diurutkan melalui dua pendekatan pokok , yaitu: pendekatan prosedural, dan hierarkis.
• Pendekatan prosedural.
Urutan materi pembelajaran secara prosedural menggambarkan langkah-langkah secara urut sesuai dengan langkah-langkah melaksanakan suatu tugas. Misalnya langkah-langkah menelpon, langkah-langkah mengoperasikan peralatan kamera video.

• Pendekatan hierarkis
Urutan materi pembelajaran secara hierarkis menggambarkan urutan yang bersifat berjenjang dari bawah ke atas atau dari atas ke bawah. Materi sebelumnya harus dipelajari dahulu sebagai prasyarat untuk mempelajari materi berikutnya.
Contoh : Urutan Hierarkis (berjenjang)
Soal ceritera tentang perhitungan laba rugi dalam jual beli Agar siswa mampu menghitung laba atau rugi dalam jual beli (penerapan rumus/dalil), siswa terlebih dahulu harus mempelajari konsep/ pengertian laba, rugi, penjualan, pembelian, modal dasar (penguasaan konsep). Setelah itu siswa perlu mempelajari rumus/dalil menghitung laba, dan rugi (penguasaan dalil). Selanjutnya siswa menerapkan dalil atau prinsip jual beli (penguasaan penerapan dalil).
Contoh lain tentang urutan operasi bilangan dapat dilihat pada tabel berikut.
Contoh Urutan Materi pembelajaran Secara Hierarkis
Kompetensi dasar
Urutan Materi
1. Mengoperasikan bilangan
1.1. Penjumlahan
1.2. Pengurangan
1.3. Perkalian
1.4. Pembagian

h) Sumber Bahan Ajar
Sumber bahan ajar merupakan tempat di mana bahan ajar dapat diperoleh. Dalam mencari sumber bahan ajar, siswa dapat dilibatkan untuk mencarinya. Misalnya, siswa ditugasi untuk mencari koran, majalah, hasil penelitian, dsb. Hal ini sesuai dengan prinsip pembelajaran siswa aktif (CBSA). Berbagai sumber dapat kita gunakan untuk mendapatkan materi pembelajaran dari setiap standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sumber-sumber dimaksud dapat disebutkan di bawah ini:

(1) Buku teks
Buku teks yang diterbitkan oleh berbagai penerbit dapat dipilih untuk digunakan sebagai sumber bahan ajar. Buku teks yang digunakan sebagai sumber bahan ajar untuk suatu jenis matapelajaran tidak harus hanya satu jenis, apa lagi hanya berasal dari satu pengarang atau penerbit. Gunakan sebanyak mungkin buku teks agar dapat diperoleh wawasan yang luas.
(2) Laporan hasil penelitian
Laporan hasil penelitian yang diterbitkan oleh lembaga penelitian atau oleh para peneliti sangat berguna untuk mendapatkan sumber bahan ajar yang atual atau mutakhir.
(3) Jurnal (penerbitan hasil penelitian dan pemikiran ilmiah)
Penerbitan berkala yang berisikan hasil penelitian atau hasil pemikiran sangat bermanfaat untuk digunakan sebagai sumber bahan ajar. Jurnal-jurnal tersebut berisikan berbagai hasil penelitian dan pendapat dari para ahli di bidangnya masing-masing yang telah dikaji kebenarannya.
(4) Pakar bidang studi
Pakar atau ahli bidang studi penting digunakan sebagai sumber bahan ajar. Pakar tadi dapat dimintai konsultasi mengenai kebenaran materi atau bahan ajar, ruang lingkup, kedalaman, urutan, dsb.
(5) Profesional
Kalangan professional adalah orang-orang yang bekerja pada bidang tertentu. Kalangan perbankan misalnya tentu ahli di bidang ekonomi dan keuangan. Sehubungan dengan itu bahan ajar yang berkenaan dengan eknomi dan keuangan dapat ditanyakan pada orang-orang yang bekerja di perbankan.
(6) Buku kurikulum
Buku kurikulm penting untuk digunakan sebagai sumber bahan ajar. Karena berdasar kurikulum itulah standar kompetensi, kompetensi dasar dan materi bahan dapat ditemukan. Hanya saja materi yang tercantum dalam kurikulum hanya berisikan pokok-pokok materi. Gurulah yang harus menjabarkan materi pokok menjadi bahan ajar yang terperinci.
(7) Penerbitan berkala seperti harian, mingguan, dan bulanan.
Penerbitan berkala seperti Koran banyak berisikan informasi yang berkenaan dengan bahan ajar suatu matapelajaran. Penyajian dalam koran-koran atau mingguan menggunakan bahasa popular yang mudah dipahami. Karena itu baik sekali apa bila penerbitan tersebut digunakan sebagai sumber bahan ajar.
(8) Internet
Bahan ajar dapat pula diperoleh melalui jaringan internet. Di internet kita dapat memperoleh segala macam sumber bahan ajar. Bahkan satuan pelajaran harian untuk berbagai matapelajaran dapat kita peroleh melalui internet. Bahan tersebut dapat dicetak atau dikopi.
(9) Media audiovisual (TV, Video, VCD, kaset audio)
Berbagai jenis media audiovisual berisikan pula bahan ajar untuk berbagai jenis mata pelajaran. Kita dapat mempelajari gunung berapi, kehidupan di laut, di hutan belantara melalui siaran televisi.
(10) Lingkungan ( alam, sosial, senibudaya, teknik, industri, ekonomi)
Berbagai lingkungan seperti lingkungan alam, lingkungan social, lengkungan seni budaya, teknik, industri, dan lingkungan ekonomi dapat digunakan sebgai sumber bahan ajar. Untuk mempelajari abrasi atau penggerusan pantai, jenis pasir, gelombang pasang misalnya kita dapat menggunakan lingkungan alam berupa pantai sebagau sumber.
Perlu diingat, dalam menyusun rencana pembelajaran berbasis kompetensi, buku-buku atau terbitan tersebut hanya merupakan bahan rujukan. Artinya, tidaklah tepat jika hanya menggantungkan pada buku teks sebagai satu-satunya sumber abahan ajar. Tidak tepat pula tindakan mengganti buku pelajaran pada setiap pergantian semester atau pergantian tahun. Buku-buku pelajaran atau buku teks yang ada perlu dipelajari untuk dipilih dan digunakan sebagai sumber yang relevan dengan materi yang telah dipilih untuk diajarkan.

Mengajar bukanlah menyelesaikan satu buku, tetapi membantu siswa mencapai kompetensi. Karena itu, hendaknya guru menggunakan banyak sumber materi. Bagi guru, sumber utama untuk mendapatkan materi pembelajaran adalah buku teks dan buku penunjang yang lain.
F. Langkah-Langkah Pemanfaatan Bahan Ajar
Strategi penyampaian bahan ajar oleh Guru
(1) Strategi urutan penyampaian simultan
Jika guru harus menyampaikan materi pembelajaran lebih daripada satu, maka menurut strategi urutan penyampaian simultan, materi secara keseluruhan disajikan secara serentak, baru kemudian diperdalam satu demi satu (Metode global). Misalnya guru akan mengajarkan materi Sila-sila Pancasila yang terdiri dari lima sila. Pertama-tama Guru menyajikan lima sila sekaligus secara garis besar, kemudian setiap sila disajikan secara mendalam.
(2) Strategi urutan penyampaian suksesif
Jika guru harus manyampaikan materi pembelajaran lebih daripada satu, maka menurut strategi urutan panyampaian suksesif, sebuah materi satu demi satu disajikan secara mendalam baru kemudian secara berurutan menyajikan materi berikutnya secara mendalam pula. Contoh yang sama, misalnya guru akan mengajarkan materi Sila-sila Pancasila. Pertama-tama guru menyajikan sila pertama yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Setelah sila pertama disajikan secara mendalam, baru kemudian menyajikan sila berikutnya yaitu sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab.
(3) Strategi penyampaian fakta
Jika guru harus manyajikan materi pembelajaran termasuk jenis fakta (nama-nama benda, nama tempat, peristiwa sejarah, nama orang, nama lambang atau simbol, dsb.) strategi yang tepat untuk mengajarkan materi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Sajikan materi fakta dengan lisan, tulisan, atau gambar.
b. Berikan bantuan kepada siswa untuk menghafal. Bantuan diberikan dalam bentuk penyampaian secara bermakna, menggunakan jembatan ingatan, jembatan keledai, atau mnemonics, asosiasi berpasangan, dsb. Bantuan penyampaian materi fakta secara bermakna, misalnya menggunakan cara berpikir tertentu untuk membantu menghafal. Sebagai contoh, untuk menghafal jenis-jenis sumber belajar digunakan cara berpikir: Apa, oleh siapa, dengan menggunakan bahan, alat, teknik, dan lingkungan seperti apa? Berdasar kerangka berpikir tersebut, jenis-jenis sumber belajar diklasifikasikan manjadi: Pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan lingkungan. Bantuan mengingat-ingat jenis-jenis sumber belajar tersebut menggunakan jembatan keledai, jembatan ingatan (mnemonics) menjadi POBATEL (Pesan, orang bahan, alat, teknik, lingkungan).
Bantuan menghafal berupa asosiasi berpasangan (pair association) misalnya untuk mengingat-ingat di mana letak stalakmit dan stalaktit pada pelajaran sains. Apakah stalaktit di atas atau di bawah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pasangkan huruf T pada atas, dengan T pada tit-nya stalaktit. Jadi stalaktit terletak di atas, sedangkan stalakmit terletak di bawah.
Contoh lain penggunaan jembatan keledai atau jembatan ingatan: (1) PAO-HOA (Panas April-Oktober, Hujan Oktober – April). (2) Untuk menghafal nama-nama bulan yang berumur 30 hari digunakan AJUSENO (April, Juni, September, Nopember).
(4) Strategi penyampaian konsep
Materi pembelajaran jenis konsep adalah materi berupa definisi atau pengertian. Tujuan mempelajari konsep adalah agar siswa paham, dapat menunjukkan ciri-ciri, unsur, membedakan, membandingkan, menggeneralisasi, dsb.
Langkah-langkah mengajarkan konsep: Pertama sajikan konsep, kedua berikan bantuan (berupa inti isi, ciri-ciri pokok, contoh dan bukan contoh), ketiga berikan latihan (exercise) misalnya berupa tugas untuk mencari contoh lain, keempat berikan umpan balik, dan kelima berikan tes.
Contoh:
Penyajian konsep tindak pidana pencurian
Langkah 1: Penyajian konsep
Sesuai pasal 362 KUHP, “Barang siapa dengan sengaja mengambil barang milik orang lain dengan melawan hukum dengan maksud untuk dimiliki dihukum dengan hukuman penjara sekurang-kurangnya … tahun.”
Langkah 2: Pemberian bantuan
a. Murid dibantu untuk menghafal konsep dengan kalimat sendiri, tidak harus hafal verbal terhadap konsep yang dipelajari (dalam hal ini Pasal pencurian).
b. Tunjukkan unsur-unsur pokok konsep tindak pidana pencurian, yaitu:
1) Mengambil barang (bernilai ekonomi)
2) Barang itu milik orang lain
3) Dengan melawan hukum (tanpa seijin yang empunya)
4) Dengan maksud dimiliki (mengambil uang untuk jajan).
Contoh positip: Wawan malam hari masuk pekarangan Ali dengan merusak pintu pagar (sengaja) mengambil (melawan hukum) material bangunan berupa besi beton (barang milik orang lain), kemudian dijual, uangnya untuk membeli beras (dengan maksud dimiliki). Contoh negatif/salah (bukan contoh tapi mirip): Badu meminjam sepeda Gani tidak dikembalikan melainkan dijual uangnya untuk membeli makan. Dari contoh negatif atau contoh yang salah ini, unsur-unsur “sengaja mengambil barang milik orang lain dengan maksud dimiliki” terpenuhi, tetapi ada satu unsur yang tidak terpenuhi, yaitu “melawan hukum”, karena “meminjam”. Jadi pengambilan barang seijin yang empunya. Karena itu perbuatan tersebut bukan termasuk tindak pidana pencurian, melainkan penggelapan.
Langkah 3: Latihan
Pertama-tama murid diminta menghafal dengan kalimat sendiri (hafal parafrase) Kemudian murid diminta memberikan contoh kasus pencurian lain selain yang dicontohkan oleh guru untuk mengetahui pemahaman murid terhadap materi tindak pidana pencurian.
Langkah 4: Umpan balik
Berikan umpan balik atau informasi apakah murid benar atau salah dalam memberikan contoh. Jika benar berikan konfirmasi, jika salah berikan koreksi atau pembetulan.

Langkah 5: Tes
Berikan tes untuk menilai apakah siswa benar-benar telah paham terhadap materi tindak pidana pencurian. Soal tes hendaknya berbeda dengan contoh kasus yang telah diberikan pada saat penyempaian konsep dan soal latihan untuk menghindari murid hanya hafal tetapi tidak paham.
(5) Strategi penyampaian materi pembelajaran prinsip
Termasuk materi pembelajaran jenis prinsip adalah dalil, rumus, hukum (law), postulat, teorema, dsb.
Langkah-langkah mengajarkan atau menyampaikan materi pembelajaran jenis prinsip adalah :
a) Sajikan prinsip
b) Berikan bantuan berupa contoh penerapan prinsip
c) Berikan soal-soal latihan
d) Berikan umpan balik
e) Berikan tes.

Contoh:
Cara mengajarkan rumus menghitung luas bujur sangkar dengan tujuan agar siswa mampu menerapkan rumus tersebut.
Langkah 1: Sajikan rumus
Rumus menghitung luas bujur sangkar adalah: Sisi X Sisi atau sisi kuadrat.
Langkah 2: Memberikan bantuan
Berikan bantuan cara menghafal rumus dilengkapi contoh penerapan rumus menghitung luas bujur sangkar. Misalnya sebuah karton bangun bujur sangkar dengan panjang sisi 30 cm.
Rumus: Luas bujur sangkar = S X S.
Luas karton adalah 30 X 30 X 1 cm2 = 900 cm2.
Langkah 3: Memberikan latihan
Berikan soal-soal latihan penerapan rumus dengan bilangan-bilangan yang berbeda dengan contoh yang telah diberikan. Misalnya selembar kertas panjangnya berbentuk bujur sangkar dengan panjang sisi 40 cm. Hitunglah luasnya.

Langkah 4: Memberikan umpan balik
Beritahukan kepada siswa apakah jawaban mereka betul atau salah. Jika betul berikan penguatan atau konfirmasi. Misalnya, “Ya jawabanmu betul”. Jika salah berikan koreksi atau pembetulan.
Langkah 5: Berikan tes
Berikan soal-soal tes secukupnya menggunakan bilangan yang berbeda dengan soal latihan untuk meyakinkan bahwa siswa bukan sekedar hafal soal tetapi betul-betul menguasai cara menghitung luas bujur sangkar.
6. Strategi penyampaian prosedur
Tujuan mempelajari prosedur adalah agar siswa dapat melakukan atau mempraktekkan prosedur tersebut, bukan sekedar paham atau hafal. Termasuk materi pembelajaran jenis prosedur adalah langkah-langkah mengerjakan suatu tugas secara urut. Misalnya langkah-langkah menyetel televisi.
Langkah-langkah mengajarkan prosedur meliputi:
a. Menyajikan prosedur
b. Pemberian bantuan dengan jalan mendemonstrasikan bagaimana cara melaksanakan prosedur
c. Memberikan latihan (praktek)
d. Memberikan umpan balik
e. Memberikan tes.
Contoh:
Prosedur menelpon di telpon umum koin.
Langkah-langkah mengajarkan prosedur:
Langkah 1: Menyajikan prosedur
Sajikan langkah-langkah atau prosedur menelpon dengan menggunakan bagan arus (flow chart)
Langkah 2: Memberikan bantuan
Beri bantuan agar murid hafal, paham, dan dapat menelpon dengan jalan mendemonstrasikan cara menelpon.
Langkah 3: Pemberian latihan
Tugasi siswa paraktek berlatih cara menelpon.

Langkah 4: Pemberian umpan balik
Beritahukan apakah yang dilakukan siswa dalam praktek sudah betul atau salah. Beri konfirmasi jika betul, dan koreksi jika salah.
Langkah 5: Pemberian tes
Berikan tes dalam bentuk “do it test”, artinya siswa disuruh praktek, lalu diamati.

7. Strategi mengajarkan/menyampaikan materi aspek afektif
Termasuk materi pembelajaran aspek sikap (afektif) menurut Bloom (1978) adalah pemberian respons, penerimaan suatu nilai, internalisasi, dan penilaian.
Beberapa strategi mengajarkan materi aspek sikap antara lain: penciptaan kondisi, pemodelan atau contoh, demonstrasi, simulasi, penyampaian ajaran atau dogma.
Contoh:
Penciptaan kondisi. Agar memiliki sikap tertib dalam antrean, di depan loket dipasang jalur untuk antri berupa pagar besi yang hanya dapat dilalui seorang demi seorang secara bergiliran.
Pemodelan atau contoh: Disajikan contoh atau model seseorang baik nyata atau fiktif yang perilakunya diidolakan oleh siswa. Misalnya tokoh Bima dalam Mahabarata. Sifat Bima yang gagah berani dapat menjadi idola anak.

II. Pemilihan Media Pembelajaran
Anda tentu sudah tahu tentang media pembelajaran, atausering melihat bagaimana orang lain menggunakan mediapembelajaran, bahkan mungkin Anda sering menggunakanmedia dalam pembelajaran. Memang tepat adanya bahwa media identik dengan guru, mengapa demikian? Karena media merupakan salah satu komponen utama dalampembelajaran selain, tujuan, materi, metode danevaluasi, maka sudah seharusnya dalam pembelajaranguru menggunakan media.
Proses pemilihan media menjadi penting karena kedudukan media yang strategis untuk keberhasilan pembelajaran.Alasan pokok pemilihan media dalam pembelajaran,karena didasari atas konsep pembelajaran sebagai sebuah sistem yang didalamnya terdapat suatu totalitas yangterdiri atas sejumlah komponen yang saling berkaitanuntuk mencapai tujuan. Upayauntuk mewujudkan tujuan pembelajaran ditunjang olehmedia yang sesuai dengan materi, strategi yangdigunakan, dan karakteristik siswa. Untuk mengetahui hasil belajar, maka selanjutnya guru menentukan evaluasi yang tepat, sesuai tujuan dan materi. Apabila ternyatahasil belajar tidak sesuai dengan harapan dalam kata lain hasil belajar siswa rendah, maka perlu ditelusuripenyebabnya dengan menganalisis setiap komponen, sehingga kita dapat mengetahui faktor penyebabnya dengan lebih objektif.
Analisis penyebab rendahnya hasil belajar dapat meninjau ketepatan seluruh komponen diantaranya : mungkin keberhasilan ini disebabkan karena rumusan tujuan tidak sesuai dengan row input dan kemampuan awal siswa “entery behaviour level” siswa, bisa jadi tujuan yang ditetapkan tidak sesuai dengan tingkat kemampuan siswa dalam kata lain terlalu tinggi. Penyebab yang lain bisa dari materi kurang sesuai dengan tujuan, terlalu kompleks, terlalu sulit sehingga tidak dikuasai sepenuhnya oleh siswa. Apabila dua komponen telah dianalisis yaitu tujuan dan materi ternyata sudah sesuai selanjutnya perlu dikaji penerapan strategi dan penggunaan media pembelajaran. Strategi bisa jadi tidak tepat, membuat siswa tidak aktif, menjenuhkan, membosankan, tidak merangsang siswa untuk aktif sehingga berpengaruh terhadap hasil belajarnya. Jika media dan strategi sudah tepat, maka perlu dikaji evaluasi yang digunakan apakah sudah tepat baik bentuknya, jenis, instrumen evaluasi dan prosedur evaluasinya.
Mekanisme tersebut jelas menunjukan pendekatan sistem dalam pembelajaran dengan pengertian bahwa setiap komponen dalam pembelajaran saling berkaitan satu sama lain, saling berinteraksi, saling berhubungan, saling terobos dan saling ketergantungan. Uraian diatas juga menggambarkan dengan jelas bagaimana kedudukan media dalam pembelajaran yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan sistem pembelajaran. Penggunaan media akan meningkatkan kebermaknaan (meaningful learning ) hasil belajar. Dengan demikian pemilihan media menjadi penting artinya dan ini menjadi alasan teoritis mendasar dalam pemilihan media.
Pentingnya pemilihan media dengan melihat kedudukan media dalam pembelajaran dapat kita lihat dengan model sistem pembelajaran yang dikemukakan oleh Gerlach dan Elly, sebagai berikut :

Sistem Pembelajaran Gerlach dan Elly

Prosedur pengembangan pembelajaran menurut Gerlach dan Elly dengan menggunakan pendekatan sistem dapat dijelaskan bahwa perumusan tujuan instruksional merupakan langkah pertama dalam merencanakan pembelajaran sebagai rumusan tingkah laku yang harus dimiliki oleh siswa setelah selesai mengikuti pembelajaran. Langkah kedua adalah merinci materi pembelajaran yang diharapkan dapat menunjang pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Perlu juga dilakukan tes “entering behavoiur level” yaitu untuk mengetahui kemampuan awal yang dimiliki siswa yang sesuai dengan tujuan pembelajaran sebagai dasar untuk menentukan dari mana guru harus mengawali pembelajaran.
Tujuan, isi dan entery behaviour level menjadi dasar untuk menetapkan komponen pembelajaran yang lainnya,yaitu : menentukan strategi yang harus sesuai dengan karakteristik tujuan maupun materi yang diberikan juga termasuk mengatur dan mengelompokan biswa. Pengelompokan siswa diselaraskan dengan waktu yang tersedia, dan ruang belajar nang tersedia. Penentuan media yang akan digunakan merupakan langkah selanjutnya. Bagaimana siswa agar mampu menguasai materi sesuai tujuan, media apa yang cocok digunakan. apakah media cetak?, atau media elektronik? Apakah media tersebut digunakan sebagai alat bantu bagi guru seperti OHP, TV, Slide Projector, Multimedia Projector, atau digunakan sepenuhnya oleh siswa dengan bimbingan guru seperti pembelajaran berbasis komputer (CAI dan CBI). Menentukan media yang cocok digunakan dalam pembelajaran disesuaikan dengan tujuan, strategi, waktu yang tersedia, dan fasilitas pendukung lainnya. Seluruh kegiatan pembelajaran diakhiri dengan penilaian terhadap penampilan (performance) siswa disesuaikan dengan tujuan yang ditetapkan, dari penilaian ini guru dapat menentukan umpan balik untuk melakukan revisi rencana dan pelaksanaan pembelajaran.
Pengkajian sistem pembelajaran yang dikembangkan oleh Gerlach dan Elly tersebut menempatkan komponen media sebagai bagian integral dalam keseluruhan system pembelajaran. Dengan emikian secara teoritis model tersebut menjadi dasar alasan mengapa kita perlu melakukan pemilihan terhadap media, agar memiliki kesesuaian dengan tujuan (spesification of objective), kesesuaian dengan isi (spesification of content), strategi pembelajaran (determination of strategy), dan waktu yang tersedia (alocation of time)

A. Alasan Praktis Pemilihan Media
Alasan praktis berkaitan dengan pertimbangan- pertimbangan dan alasan si pengguna seperti guru, dosen, instruktur mengapa menggunakan media dalam pembelajaran. Terdapat beberapa penyebab orang memilih media, antara lain dijelaskan oleh Arif Sadiman (1996:84) sebagai berikut :
1) Demonstration.
Dalam hal ini media dapat digunakan sebagai alat untuk mendemonstrasikan sebuah konsep, alat, objek, kegunaan, cara mengoperasikan dan lain- lain. Media berfungsi sebagai alat peraga pembelajaran, misalnya seorang dosen sedang menerangkan teknik mengoperasikan
Overhead Projector (OHP), pada saat menjelaskannya menggunakan alat peraga berupa OHP, dengan cara mendemonstrasikan dosen tersebut menjelaskan, menunjukkan dan memperlihatkan cara-cara mengoperasikan OHP. Contoh lain, seorang guru kimia akan menjelaskan proses perubahan-perubahan zat dengan menggunakan gelas ukur, sebelum dilakukan praktikum, terlebih dahulu guru tersebut memperagakan bagaimana cara menggunakan gelas ukur dengan baik. Untuk lebih jelas, kita lihat contoh ketiga, seorang guru Biologi akan membelajarkan siswa tentang bentuk dan struktur sel dengan menggunakan
Mikroskop, maka sebelum praktikum dimulai, sebelum siswa meletakan objek pada mikroskop untuk diamati maka guru tersebut menunjukan cara kerja Mikroskop sesuai dengan prosedur yang benar, cara ini akan memperlancar proses belajar dan menghindari resiko kerusakan pada alat praktikum yang digunakan. Beberapa alasan tersebut sering melandasi pengguna dalam menggunakan media yaitu bertujuan untukmendemonstrasikan atau memperagakan sesuatu.

2) Familiarity.
Pengguna media pembelajaran memiliki alasan pribadi mengapa ia menggunakan media, yaitu karena sudah terbiasa menggunakan media tersebut, merasa sudah menguasai media tersebut, jika menggunakan media lain belum tentu bisa dan untuk mempelajarinya membutuhkan waktu, tenaga dan biaya, sehingga secara terus menerus ia menggunakanmedia yang sama. Misalnya seorang dosen yang sudah terbiasa menggunakan media Over Head Projector (OHP) dan Over Head Transparancy (OHT, kebiasaan menggunakan media tersebut didasarkan atas alas an karena sudah akrab dan menguasai detil dari media tersebut, meski sebaiknya seorang guru lebih variatif dalam memilih media, dalam konsepnya tidak ada satu media yang sempurna, dalam arti kata tidak ada satu media yang sesuai dengan semua tujuan pembelajaran, sesuai dengan semua situasi dan sesuai dengan semua karakteristik siswa. Media yang baik adalah bersifat kontekstual sesuai dengan realitas kebutuhan belajar yang dihadapi siswa. Jika kita lihat pada contoh di atas, media OHP lebih tepat untuk mengajarkan konsep dan aspek-aspek kognitif, dapat digunakan dalam jumlah siswa maksimal 50 orang dengan ruangan yang tidak terlalu besar dan siswa cenderung pasif tidak dapat melibatkan secara optimal kontrol pembelajaran ada pada guru. Tentu saja OHP kurang tepat untuk mengajarkan keterampilan yang menuntut demonstrasi, praktek langsung yang lebih membuat siswa aktif secara fisik dan mental. Alasan familiarity tentu saja tidak selamanya tepat, jika tidak memperhatikan tujuannya. Meski demikian alasan ini cukup banyak terjadi dalam pembelajaran.

3) Clarity
Alasan ketiga ini mengapa guru menggunakan media adalah untuk lebih memperjelas pesan pembelajaran dan memberikan penjelasan yang lebih konkrit. Pada praktek pembelajaran, masih banyak guru tidak menggunakan atau tanpa media, metode yang digunakan dengan ceramah (ekspository), cara seperti ini memang tidak merepotkan guru untuk menyiapkan media, cukup dengan menguasai
materi, maka pembelajaran dapat berlangsung, namun apakah pembelajaran seperti ini akan berhasil? Cara pembelajaran seperti ini cenderung akan mengakibatkan verbalistis, yaitu pesan yang disampaikan guru tidak sama dengan persepsi siswa, mengapa hal ini bisa terjadi? Karena informasi tidak bersifat konkrit, jika guru tidak mampu secara detil dan spesifik menjelaskan pesan pembelajaran, maka verbalistis akan terjadi. Misalnya seorang guru IPA di Sekolah Dasar sedang menjelaskan ciri-ciri mahluk hidup, diantaranya bahwa mahluk hidup dapat bernafas dengan insang dan paru-paru. Jika guru tidak cermat mengemas informasi dengan baik hanya berceramah saja maka siswa yang tidak pernah melihat bentuk paru-paru dan insang maka akan membayangkan bentuk-bentuk lain yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Disinilah banyak pengguna media, memiliki alasan bahwa menggunakan media adalah untuk membuat informasi lebih jelas dan konkrit sesuai kenyataannya. Alasan ini lebih tepat dipilih guru dibanding dengan alasan kedua di atas.

4) Active Learning
Media dapat berbuat lebih dari yang bisa dilakukan oleh guru. Salah satu aspek yang harusdiupayakan oleh guru dalam pembelajaran adalah siswa harus berperan secara aktif baik secara fisik, mental, dan emosional. Dalam prakteknya guru tidak selamanya mampu membuat siswa aktif hanya dengan cara ceramah, tanya jawab dan lain-lain namun diperlukan media untuk menarik minat atau gairah belajar siswa. Seperti pendapat Lesle J. Briggs (1979) menyatakan bahwa media pembelajaran sebagai “the physical means of conveying instructional content……….book, films, videotapes, etc. Lebih jauh Briggs menyatakan media adalah “alat untuk memberi perangsang bagi peserta didik supaya terjadi proses belajar. Sedangkan mengenai efektifitas media, Brown (1970) menggaris bawahi bahwa media yang digunakan guru atau siswa dengan baik dapat mempengaruhi efektifitas program belajar mengajar. Sebagai contoh seorang guru memanfaatkan teknologi komputer berupa CD interaktif untuk mengajarkan materi fisika. Dengan CD interaktif seorang siswa dapat lebih aktif mempelajari materi dan menumbuhkan kemandirian belajar, guru hanya mengamati, dan mereviu penguasaan materi oleh siswa. Cara seperti ini membuat siswa lebih termotivasi untuk belajar, terlebih kemasan program CD interaktif dengan multimedia menarik perhatian dan membuat pesan pembelajaran lebih lengkap dan jelas. Contoh lain dapat dilihat pada pelatihan Emotional Spiritual Question (ESQ), salah satu tujuan pelatihan ini adalah menumbuhkan seoptimal mungkin motivasi peserta untuk berbuat positif dengan spirit yang besar dan optimalisasi potensi individu, diantaranya dengan cara mengkaji proses dan kejadian serta fenomena alam (ayat qauniyyah), untuk mewujudkan tujuan ini digunakan banyak visualisasi (media video) untuk memperlihatkan tayangan- tayangan yang mampu meningkatkan motivasi peserta, dan secara empiric terbukti mampu meningkatkan motivasi peserta. Seperti yang dijelaskan di awal, bahwa keberadaan media dapat diperoleh dengan cara memanfaatkan yang sudah ada, baik media realia yaitu media alami yang tersedia di alam sekitar misalnya : gunung, sawah, air, berbagai jenis batuan, hewan, tumbuhan dan lain-lain. Media juga dapat diperoleh dengan cara pembelian.
Membeli berarti tidak terjadi proses desain oleh pengguna, media yang sudah ada langsung dimanfaatkan oleh pengguna. Beberapa media dengan berbagai materi pelajaran sekolah berbagai jenjang pendidikan sudah dapat dijumpai di beberapa toko buku, atau di toko yang khusus menjual alat-alat dan media pembelajaran.
Media yang mudah kita jumpai terutama yang berhubungan dengan Sain dan pelajaran IPS. Misalnya torso berupa bentuk kerangka manusia, Microscope, loop, mokeup, dan kit alat-alat praktikum. Pada pelajaran IPS misalnya globe, peta, dan lain-lain.
Tugas pengguna adalah memilih media yang tepat dengan kebutuhan pembelajaran sesuai dengan karakteristik siswa dan karakteristik materi pembelajaran. Tentu saja hal ini tidaklah mudah, diperlukan analisis dan pertimbangan-pertimbangan yang matang sehingga membeli media berarti manfaat yang diperoleh bukan kesia-sian, dalam hal ini Arif Sadiman (1996:85) mengemukakan beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan rujukan untuk membeli media, hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini :

B. Kriteria Umum Pemilihan Media
Pada kegiatan belajar 1 telah dijelaskan beberapa pertimbangan mengapa orang melakukan pemilihan media. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dasar pertimbangan dalam pemilihan media adalah dapat terpenuhinya kebutuhan dan tercapainya tujuan pembelajaran, jika tidak sesuai dengan kebutuhan dan tujuan maka media tersebut tidak digunakan. Mc. M. Connel (1974) dengan tegas mengatakan “if the medium fits use it” artinya jika media sesuai maka gunakanlah. Dengan demikian cukup sederhana bukan? Namun demikian dalam aplikasinya tidak sesederhana itu, diperlukan satu pengkajian yang mendalam untuk sampai pada ketepatan dalam memilih media. Pertanyaan mendasar kemudian adalah untuk memperoleh kesesuaian tersebut, apakah yang menjadi indikator atau kriterianya?
Jawaban atas pertanyaan tersebut tidaklah mudah, namun diperlukan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kesesuaian media. Diantara faktor yang perlu diperhatikan diantaranya : tujuan pembelajaran, karakteristik siswa, modalitas belajar siswa (auditif, visual dan kinestetik), lingkungan, ketersediaan fasilitas pendukung, dan lain-lain.
Ada beberapa kriteria umum yang perlu diperhatikan dalam pemilihan media. Namun demikian secara teoritik bahwa setiap media memiliki kelebihan dan kelemahan yang akan memberikan pengaruh kepada afektifitas program pembelajaran. Sejalan dengan hal ini, yang ditempuh adalah mengkaji media sebagai bagian integral dalam proses pendidikan kajiannya akan sangat dipengaruhi beberapa criteria umum sebagai berikut :

• Kriteria Pertama, Kesesuaian dengan Tujuan (instructional goals).
Perlu di kaji tujuan pembelajaran apa yang ingin dicapai dalam suatu kegiatan pembelajaran. Dari kajian Tujuan Instruksional Umum (TIU) atau Tujuan Instruksional Khusus (TIK) ini bisa dianalisis media apa yang cocok guna mencapai tujuan tersebut. Selain itu analisis dapat diarahkan pada taksonomi tujuan dari Bloom, dkk apakah tujuan itu bersifat kognitif, afektif dan psikomotorik. Begitu halnya dalam kurikulum berbasis kompetensi (2006), kriteri pemilihan media didasarkan atas kesesuaiannya dengan standar kompetensi, kompetensi dasar dan terutama indikator. Sebagai contoh lihatlah penggalan rencana pelaksanan pembelajaran (RPP) berikut ini yang diambil dari kurikulum 2006.
• Kriteria Kedua, Kesesuaian dengan materi pembelajaran (instructional content), yaitu bahan atau kajian apa yang akan diajarkan pada program pembelajaran tersebut. Pertimbangan lainnya, dari bahan atau pokok bahasan tersebut sampai sejauhmana kedalaman yang harus dicapai, dengan demikian kita bisa mempertimbangkan media apa yang sesuai untuk penyampaian bahan tersebut. Contohnya dapat dilihat pada kolom kriteria dua di atas. Di sana tertera dengan jelas materi pembelajaran, misalnya ”Peran OS dalam komputer” dengan demikian media yang dinggap tepat adalah sesuai dengan materi yang diajarkan, jika pokok materinya itu maka computer merupakan media yang dianggap paling tepat.
• Kriteria Ketiga, Kesesuaian dengan Karakteristik Pebelajar atau siswa. Dalam media haruslah familiar dengan karakteristik siswa/guru. Yaitu mengkaji sifat-sifat dan ciri media yang akan digunakan. Hal lainnya karakteristik siswa, baik secara kuantitatif (jumlah) ataupun kualitatif (kualitas, ciri, dan kebiasaan lain) dari siswa terhadap media yang akan digunakan. Terdapat media yang cocok untuk sekelompok siswa, namun tidak cocok untuk siswa yang lain. Misalnya, seorang guru tidak akan menggunakan media video atau film walaupun media tersebut secara umum dipandang baik apabila akan diajarkan pada siswa yang memiliki gangguan pada indra penglihatannya. Demikian juga untuk media audio untuk siswa yang mengalami gangguan pendengaran. Dengan demikian pemilihan media harus melihat kondisi siswa secara fisik terutama keberfungsian alat indra yang dimilikinya. Selain pertimbangan tersebut perlu juga diperhatikan aspek kemampuan awal siswa, budaya maupun kebiasaan siswa. Hal ini perlu diperhatikan untuk menghindari respon negatif siswa, serta kesenjangan pemahaman antara pemahaman yang dimiliki peserta didik sebagai hasil belajarnya dengan isi materi yang terdapat pada media tersebut.

• Kriteria Keempat, Kesesuaian dengan teori. Pemilihan media harus didasarkan atas dengan teori. Media yang dipilih bukan karena fanatisme guru terhadap suatu media yang dianggap paling disukai dan paing bagus, namun didasarkan atas teori yang di angkat dari penelitian dan riset sehingga telah teruji validitasnya. Pemilihan media bukan pula karena alasan selingan atau hiburan semata. Melainkan media harus merupakan bagian integral darikeseluruhan proses pembelajaran, yang fungsinya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran.
• Kriteri kelima, Kesesuaian dengan gaya belajar siswa. Kriteria ini didasarkan kondisi psikologis siswa, bahwa siswa belajar dipengaruhi pula oleh gaya belajar siswa. Bobbi DePorter (1999:117) dalam buku “Quantum Learning” mengemukakan terdapat tiga gaya belajar siswa, yaitu : tipe visual, auditorial dan kinestetik. Siswa yang memiliki tipe visual akan mudah memahami materi jika media yang digunakan adalah media visual seperti TV, Video, Grafis dan lain-lain. Berbeda dengan siswa dengan tipe auditif, lebih menyukai cara belajar dengan mendengarkan dibanding menulis dan melihat tayangan. Untuk mengidentifikasi tipe auditorial ini dapat dilihat dari kebiasaan belajarnya, misalnya : berbicara kepada diri sendiri saat bekerja, mudah terganggu oleh keributan, senang membaca keras dan mendengarkannya, merasa kesulitan dalam menulis namun memiliki kecerdasan dalam berbicara, belajar dengan cara mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan. Tipe kinestetik lebih suka melakukan dibandingkan membaca dan mendengarkan. Ciri-ciri tipe ini diantaranya : berbicara dengan perlahan, menanggapi perhatian fisik, menyentuh orang untuk memperoleh perhatian dari orang lain, belajar melalui manipulasi dan praktek, belajar dengan cara berjalan dan melihat, menggunakan jari telunjuk ketika membaca dan lain-lain.

• Kriteria Keenam, Kesesuaian dengan kondisi lingkungan, fasilitas pendukung, dan waktu yang tersedia. Bagaimana bagusnya sebuah media, apabila tidak didukung oleh fasilitas dan waktu yang tersedia, maka kurang efektif. Media juga terkait dengan user atau penggunannya dalam hal ini guru, jika guru tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan media tersebut dengan baik, maka akan sia-sia, begitu halnya dengan fasilitas lainnya, misalnya sekolah disebuah desa terpencil membeli perangkat komputer untuk mata pelajaran TIK, namun hal itu menjadi tidak berfungsi dengan baik, karena ternyata di sekolah tersebut belum terpasang aliran listrik.

B. Kriteria Khusus Pemilihan Media
Erickson (1993) memberi saran dalam mengembangkan kriteria pemilihan media dalam bentuk chek listsebagai berikut:

Tabel di atas menunjukan cara dalam memilih mediadengan memperhatikan aspek-aspek yang dipertanyakan di atas, dalam kata lain medianya sudah tersedia dan kita tinggal melakukan pemilihan dengan cermat.
Sejumlah kriteria khusus lainnya dalam memilih media pembelajaran yang tepat dapat kita rumuskan dalam satu kata ACTION, yaitu akronim dari; access, cost, technology, interactivity,
a) Acces organization, dan novelty. Kemudahan akses menjadi pertimbangan pertama dalam memilih media. Apakah media yang kita perlukan itu tersedia, mudah, dan dapat dimanfaatkan oleh murid? Misalnya, kita ingin menggunakan media internet, perlu dipertimbangkan terlebih dahulu apakah ada saluran untuk koneksi ke internet? Akses juga menyangkut aspek kebijakan, misalnya apakah murid diijinkan untuk menggunakannya? Komputer yang terhubung ke internet jangan hanya digunakan untuk kepala sekolah, tapi juga guru, dan yang lebih penting untuk interaksi dan aktivitas siswa, bukan hanya guru yang menggunakan media tersebut.
b) Cost, Biaya juga harus dipertimbangkan. Banyak jenis media yang dapat menjadi pilihan kita, pada umumnya media canggih biasanya cenderung mahal. Namun, mahalnya biaya itu harus kita hitung dengan aspek menfaatnya. Semakin banyak yang menggunakan, maka unit cost dari sebuah media akan semakin menurun. Media yang efektif tidak selalu mahal, jika guru kreatif dan menguasai betul materi pelajaran maka akan memanfaatkan objek-objek untuk dijadikan sebagai media dengan biaya yang murah namun efekt
c) Technology, Mungkin saja kita tertarik kepada satu media tertentu. Tapi kita perlu perhatikan apakah teknologinya tersedia dan mudah menggunakannya? Katakanlah kita ingin menggunakan media audio visual di kelas. Perlu kita pertimbangkan, apakah ada listrik, voltase listrik cukup dan sesuai?
d) Interactivity, Media yang baik adalah yang dapat memunculkan komunikasi dua arah atau interaktivitas Setiap kegiatan pembelajaran yang anda kembangkan tentu saja memerlukan media yang sesuai dengan tujuan pembelajaran tersebut. Jadikan media itu sebagai alat bantu siswa dalam beraktivitas, misalnya puzzel untuk anak SD, siswa dapat menggunakannya sendiri, menyusun gambar hingga lengkap, flash card dapat dikondisikan dalam bentuk permainan dan semua siswa terlibat baik secara fisik, intelektual maupun mental.
e) Organization, Pertimbangan yang juga penting adalah dukungan organisasi Misalnya, apakah pimpinan sekolah atau yayasan mendukung? Bagaimana pengorganisasiannya. Apakah di sekolah ini tersedia satu unit yang disebut pusat sumber belajar?
f) O V E L T Y, Kebaruan dari media yang anda pilih jugaharusmenjadi pertimbangan. Media yang lebih baru biasanya lebih baik dan lebih menarik siswa. Diantara media yang relatif baru adalah media yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi khususnya penggunaan internet

C. Prosedur Pemilihan Media Pembelajaran
1. Format Pemilihan Media
Prosedur dalam memilih media secara umum terbagi dalam dua format, Arif Sadiman (1996:87) mengemukakan dua format tersebut, yaitu flowchart, matrik dan checklist. Format flowchart menggunakan system pengguguran atau eliminasi dalam pengambilan keputusan pemilihan, jika salah satu ber-opsi tidak maka gugur dan berpindah pada langkah selanjutnya. Format matrikmenangguhkan proses keputusan pemilihan sampai semua kriterianya dipertimbangkan. Format checklist samadengan format matrik, yaitu menangguhkan proses keputusan pemilihan sampai semua kriterianya dipertimbangkan. Dilihat dari penggunannya di lapangan, model checklist lebih banyak digunakan sebagai bentuk baku sebagai pedoman dalam pemilihan media.
(1) Format Flowchart
Cabaceiros dalam Arif Sadiman (1996 :87) memberikan contoh model flowchart seperti tampak pada bagan berikut ini

Permintaan
Film

Penjelasan Bagan :

Bagan tersebut menjelaskan proses pemilihan media dengan mengikuti alur / flow dengan sistem pengguguran sampai pada satu keputusan akhir membeli atau tidak media tersebut. Misalnya pada bagan tersebut ada permintaan pengadaan media bentuk film atau pihak sekolah menginginkan untuk pengadaan media film. Langkah pertama adalah mempertanyakan ada atau tidak media tersebut, jika ternyata sekolah sudah memilikinya maka dengan sendirinya sekolah tidak jadi membeli media film, namun ada pertanyaan untuk membeli media lain, jika ternyata juga tidak disetujui berarti pembelian media tidak jadi dilakukan Apabila ternyata pihak sekolah tidak memiliki dan disetujui pimpinan sekolah maka selanjutnya masuk pada alur yang mempertanyakan keberadaan dana yang dimiliki sekolah, apabila dana ada dan mencukupi selanjutnya mengajukan permohonan pembelian dengan memilih media film melalui katalog media. Sebaiknya sekolah meminta pihak penjual untuk diadakan reviu media untuk dilakukan evaluasi, dan hasil dari evaluasi itu menjadi keputusan akhir antara membeli atau tidak. Jika hasil evaluasi menunjukan kesesuaian media maka sekolah langsung mengusulkan untuk jadi membeli, jika hasil evaluasi menunjukan ketidak sesuaian, maka tidak perlu membeli, bahkan perlu dicegah untuk, sebab kalau jadi dibelipun sekolah mengalami kerugian dan tidak efisien.
Untuk lebih memperjelas pemahaman Anda tentang model flowchart dalam media, kita simak model Gagne dan Reiser dalam Arif Sadiman (2004). Berbeda dengan contoh pertama di atas, model ini bertitik tolak dari upaya pencapaian tujuan pembelajaran.

Pemilihan Media untuk Belajar Mandiri (Gagne dan Reiser)
Penjelasan :

Gegne berpendapat bahwa pemilihan media harus berdasar atas analisis terhadap tujuan pembelajaran. Bagan tersebut menunjukan bahwa pemilihan media didasarkan atas karakteristik tujuan, apakah tujuan tersebut bersifat penguasaan sikap verbal? Jika ya, maka kita harus memilih media yang berorientasi untuk penanaman sikap, seperti : film, film bingkai, kaset dan video. Apabila tujuan pembelajaran tidak pada penguasaan sikap namun verbal maka pilihannya apakah bersifat visual atau tidak. Jika visual maka media yang cocok adalah terks bergambar, film bingkai, film rangkai dan film. Apabila tidak dalam bentuk visual maka pilihannya audio dengan media cetak. Selain tujuan bersifat penguasaan sikap juga keterampilan. Apabila keterampilan berupa fisik maka media yang cocok adalah alat berlatih, sedangkan apabila keterampilan tidak bersifat fisik maka pilihan medianya adalah komputer, belajar terprogram, CBI dan TV interaktif.
Pembelajaran di sekolah dasar sudah dimungkinkan untuk menggunakan pembelajaran mandiri, misalnya dengan menggunakan CD pembelajaran interaktif dengan kemasan sederhana dan pengawasan dari guru. Jika ada permintaan untuk menggunakan media tersebut, perlu di analisis dengan pola tersebut.

(2) Format Matriks
Pilihan lain untuk pemilihan media dapat menggunakan format matriks, format ini berbentuk kolom yang mengkaitkan dan mencocokkan satu variabel media dengan variabel lainnya. Misalnya jenis media yang akan dipilih di lihat kondisinya dengan variabel lain seperti sifatnya, kelebihannya, fungsinya, penggunaannya dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya, Wilbur Schram (1977) memberi contoh analisis media dilihat dari segi pengontrolannya atau kesesuaian media dengan cara pengendaliannya.

trol
Penjelasan :
Pada tabel di atas aspek yang di analisis kesesuaiannya adalah media dengan pengendaliannya. Variabel yang termasuk pengendalian diantaranya portabel. Portabel adalah kemudahan media tersebut untuk di pindahkan, disimpan, di bawa-bawa, kemudahan untuk memasang (setup) kemudahan untuk menggunakan, dalam kata lain portabel berarti kepraktisan media tersebut untuk digunakan. Aspek lain yang termasuk pengendalian media adalah dapat digunakan di rumah, siap digunakan setiap saat artinya tidak tergantung pada aspek lain, terkendali, dapat digunakan secara mendiri artinya siswa pada saat menggunakan media tersebut tidak selamanya tergantung pada guru, namun dapat digunakan oleh siswa. Umpan balik dalam media adalah bisa atau tidaknya media memberikan balikan informasi pada penggunannya, terutama balikan langsung dan bukan balikan tunda.
Bagaimana cara menggunakan matriks tersebut?
Menggunakan matrik tersebut cukuplah mudah, yang harus Anda lihat pertama kali adalah aspek pengendalian dari media tersebut, sesuaikan dengan kebutuhan pembelajaran yang akan dilakukan. Misalnya Anda ingin memiliki media yang praktis, dapat digunakan di rumah, dapat digunakan setiap saat, terkendali dapat digunakan untuk pembelajaran mandiri meskipun tidak memiliki umpan balik, maka pilihannya ada beberapa alternative media diantaranya : slide, film strip, audio kaset, dan buku. Tentu saja Anda dapat memilih salah satu dari media tersebut. Cara kedua dapat juga anda berangkat dari media yang diplih, kemudian di cocokan dengan karakteristiknya terutama aspek pengendalian dari media tersebut, dengan sendirinya jika media tersebut ternyata tidak sesuai dengan karakteristik yang Anda butuhkan maka tidak akan dipilih dan digunakan. Mudah bukan?

(3) Format Checklist
Format evaluasi terhadap media dapat menggunakan checklist, sesuai dengan istilah checklist maka kita tinggal memberikan penilaian dengan memberi tanda dan memberi nilai pada rentang penilian media. Lihatlah
contoh berikut ini :

Menggunakan format di atas cukuplah mudah kita tinggalmengisi data yang tersedia, memilih media yang dievaluasi (film, video, Slide, Buku, dll) dan melingkari nomor skala yang mendekati penilaian kebutuhan media Anda. Format ini dapat disesuaikan dengan keperluan sekolah tertentu.
Sebagai perbandingan, berikut
D. Prosedur Pemilihan Model Assure
Seperti yang telah diuraikan di atas, prosedur pemilihanmedia dapat dianalisis dengan menggunakan prosedur menggunakan berbagai format baik matrik, checklist maupun flowchart. Cara lain dalam pemilihan media dapat menggunakan pola ASSURE model dari Heinich, Molenda dan Russel (hal.34). ASSUR mengandung makna dari masing-masing huruf, yaitu Analisis Learner Characteristics, State Objectives, Slec, Modify or Design materials, Utilitize Materilas, Require Learner response dan Evaluate. Menurut model ini apabila kita akan memilih media lakukan dengan mengikuti prosedur sesuai tahapan ASSURE Untuk lebih jelasnya kita uraikan masing-masing kata tersebut.

1. Analisis Learner Characteristics Tahap pertama adalah melakukan analisisterhadap karakteristik siswa. Secara garis besar karakteristik siswa terbagi dua, yaitu karakteristik umum dan khusus. Karakteristik khusus berkaitan dengan usia, pengalaman sebelumnya, latar belakang keluarga, social budaya, dan ekonomi. Karakteristik khusus berkenaan dengan pengetahuan, skill dan sikap tertentu yang dimiliki siswa. secara psikologis anak pada jenjang pendidikan awal menuntut informasi yang konkrit, jelas tidak verbalistik, sederhana dan diperlukan pola pembelajaran yang lebih menyenangkan (joyfull learning) yang juga penting pembelajaran sesuai dengan keterampilan berfikir siswa. Keterampilan berpikir terdiri dari keterampilan berpikir dasar dan keterampilan berpikir kompleks. Menurut Novak (1979) proses berpikir dasar meliputi proses mental yang merupakan gambaran berpikir rasional yang terdiri dari sepuluh kemampuan yaitu menghafal recalling), imagining), mengelompokkan (classifiying), nggeneralisasikan generalizing), membandingkan (comparing), (evaluating), menganalisis (analizing), mensintesis (synthesizing), (deducing), dan menyimpulkan (infering). Keterampilan berpikir kompleks merupakan perpaduan dari keterampilan berpikir rasional dengan proses berpikir kompleks yang meliputi pemecahan masalah, pembuatan keputusan, berpikir kritis, dan berpikir kreatif.
2. State Objectives Langkah selanjutnya menentukan tujuan pembelajaranataukompetensiyang diharapkan tercapai. Pengkajian terhadap tujuan atau kompetensi ini akan di jadikan pijakan untuk prosedur selanjutnya. Jika kita kaitkan dengan kurikulum berbasis kompetensi maka tujuan tersebut berupa : (1) Standar Kompetensi Peserta Didik, merupakan ukuran kemampuan minimal yang mencakup kemampuan, pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus dicapai, diketahui, dan mahir dilakukan oleh peserta didik pada setiap tingkatan dari suatu materi yang diajarkan, (2) kompetensi Dasar, merupakan penjabaran standar kompetensi peserta didik yang cakupan materinya lebih sempit dibanding dengan standar kompetensi peserta didik, dan (3) Indikator Pencapaian, merupakan indikator pencapaian hasil belajar berupa kompetensi dasar yang lebih spesifik yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai ketercapaian hasil pembelajaran. Kompetensi apa yang ingin di capai? Hall & Jones (1976: 48) membagi kompetensi menjadi 5 macam, yaitu: (a) Kompetensi kognitif yang mencakup pengetahuan, pemahaman, dan perhatian, (b) Kompetensi afektif yang menyangkut nilai, sikap, minat, dan apresiasi,(c) Kompetensi penampilan yang menyangkut demonstrasi keterampilan fisik atau psikomotorik, (d) Kompetensi produk atau konsekuensi yang menyangkut keterampilan melakukan perubahan terhadap pihak lain, (e) kompetensi eksploratif atau ekspresif, menyangkut pemberian pengalaman yang mempunyai nilai kegunaan di
masa depan, sebagai hasil samping yang positif.
3. Select, Modify or Design materials. Selanjutnya adalah kegiatan memilih media, memodifikasi media yang sudah ada atau merancang sesuai kebutuhan. Langkah ini dilakukan sesuai dengan langkah dua di atas penentuantujuan/kompetensi. Pemilihan media dapat menggunakan format checklist, matrik flowchart. yang akan dilipih menurut Anderson yakni : audio, cetak, audio– cetak proyeksi visual diam, proyek visual diam dengan audio, visual gerak , visual gerak dengan audio, benda dan komputer.
4. Utilitize Materialas, Setelah media tersebut dipilih mana yang sesuai dengan karakteristik siswa, sesuai dengan tujuan pembelajaran lalu langkah selanjutnya digunakan dalam pembelajaran. Menggunakan media dalam pembelajaran diperhatikan langkah-langkah menggunakannya. Hal ini akan berbeda pada setiap media yang kita pilih. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan media yakni : siapkan waktu yang cukup (misalnya 10 menit) untuk persiapan dan pemasangan media, pastikan media tersebut dapat digunakan hal ini dapat diketahui dengan cara dicobakan terlebih dahulu sebelum langsung digunakan. Media seyogyannya membuat siswa aktif, guru tidak boleh terlalu mengandalkan media, misalnya OHP.
Jika ternyata ada masalah, misalnya sambungan listrik tidak berfungsi maka guru bisa menggunakan alternatif lain. media-media tertentu seperti video membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga guru harus cermat mengalokasikan waktu. Sesi tanya jawab, reviu pembelajaran dari guru dan kalau perlu diadakan postes harus tetap diperhatikan

5. Require Learner respose, Selanjutnya perlu diamati bagaimana respon siswa terhadap penggunaan media tersebut. Kita harus ingat bahwa sasaran akhir dalam sebuah pembuatan media adalah harus dapat dipahami, dimengerti dan memudahkan siswa.
Fokus media tidak hanya pada kemasan saja namun lebih penting adalah kejelasan pesan. Sebagai guru yang langsung berinteraksi dengan siswa, tentunya dapat mengamati bagaimana respon siswa terhadap media yang kita sajikan. Respon ini dapat berupa respon positif dan respon negatif. Respon siswa dapat dilihat dari ekspresi, pendapat langsung perihal media ketertarikan media tersebut, mudah atau sulitnya memahami pesan pembelajaran dalam media tersebut serta bagaimana motivasi siswa setelah menyimak pembelajaran dengan media. Respon siswa yang dimaksud di sini tidak sama dengan evaluasi hasil belajar, namun lebih berupa persepsi dan tanggapan siswa terhadap media. Untuk melihat respon ini guru dapat langsung menanyakannya kepada siswa atau membuat angket sederhana khusus mengungkap respon ketertarikan siswa dan keterbacaan media (media literacy)tersebut.
6. Evaluate Tahap akhir dalam pemilihan media model ASSURE adalah melakukan evaluasi. Evaluasi pada hakikatnya merupakan suatu proses membuat suatu keputusan tentang nilai suatuobjek. Keputusan evaluasi(value judgement )tidak hanya didasarkan atas hasil pengukuran (quntitatif) melainkan juga hasil pengamatan (quantitatif), baik yang dilakukan dengan pengukuran (measurement) maupun bukan pengukuran (nonmeasurement) pada akhirnya menghasilkan suatu keputusan tentang nilai satu objek yang dinilai. Evaluasi diarahkan untuk mengukur penguasaan siswa terhadap materi yang diberikan dengan menggunakan media.
Evaluasi dilakukan dengan dua jenis yaitu evaluasi pada saat proses pembelajaran dan evaluasi akhirpembelajaran. Esensi evaluasi yang dilakukan adalah membandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Evaluasi bertujuan untuk : (1) mengetahui tingkat pencapaian kompetensi siswa, (2) mengukur pertumbukan dan perkembangan siswa, (3) mendiagnosis

Kesulitan belajar siswa, (4) hasil pembelajaran, (5) mengetahui pencapaian kurikulum, (6) mendorong siswa untuk belajar dan (7) mendorong guru untuk mengajar lebih baik. Dengan demikian, penilaian berfungsi untuk kepentingan siswa dan guru.

E. Prosedur Pemilihan Model Anderson
Media merupakan bagian integral dalam pembelajaran, sebagai salah satu komponen dari beberapa komponen dalam sistem pembelajaran, dengan demikian prosedur pemilihan media hendaklah mengacu pada keterkaitan dengan komponen lainnya. Hal inilah yang mendasari Anderson (1976) untuk membuat satu model pemilihan media yang mengacu pada keterkaitannya dengan komponen lain.
Komponen yang menjadi fokus perhatian adalah tujuan, metode dan karakteristik media itu sendiri. Tujuan berkaitan dengan efektivitas media yang dibuat, artinya baik atau tidaknya sebuah media yang dipiilih dapat dilihat dari ketercapaian tujuannya, semakin banyak tujuan pembelajaran tercapai maka semakin baik media tersebut, begitu juga sebaliknya.
Metode berkenaan dengan cara penyampaian media tersebut kepada siswa. Dalam hal ini perlu di diperhatikan jumlah siswa, keadaan fasilitas belajar, sarana pendukung dan waktu yang tersedia. Untuk lebih jelasnya lihatlah bagan Model Anderson (1976) berikut ini :

Penjelasan :
Anderson membagi proses pemilihan media menjadi enam langkah, masing-masing langkah di kaji sampai pada akhir langkah yaitu melakukan kegiatan perancangan dan produksi media.

1. Langkah awal adalah menentukan karakteristik pesan yang akan disampaikan, apakah pesan tersebut berupa fakta, konsep, gagasan, hukum, teori yang sifatnya konseptual, atau pesan tersebut berupa instruksi, penugasan-penugasan tertentu yang mengarah pada penguasaan skill atau keterampilan.
2. Selanjutnya tahap dua mengkaji bagaimana metode yang tepat sesuai dengan karakteristik pesan pembelajaran. Hal ini perlu dikaji secara langsung dengan mengkaitkan kebutuhan akan media pembelajaran atau tidak menggunakan media. Apabila pesan tersebut berupa pesan-pesan pembelajaran, maka dibutuhkan media pembelajaran bukan media yang lain. Contoh jika pesan tersebut berupa pesan umum, informasi publik, politik dan ekonomi maka lebih cocok menggunakan media masa dan bukan media pembelajaran.
3. Pesan pembelajaran perlu dianalisis lebih operasional terutama kaitannya karakteristik tujuan, kita bisa mengambil Teori Bloom et al. (1956: 17) menganalisis kompetensi menjadi tiga aspek, masing- masing dengan tingkatan yang berbeda-beda: Kompetensi kognitif, meliputi tingkatan pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan penilaian.
Kompetensi afektif, meliputi pemberian respons, penilaian, apresiasi, dan internalisasi. Kompetensi psikomotorik, meliputi keterampilan gerak awal, semi rutin, dan rutin. Hal ini berhubungan dengan media yang cocok dengan karakteristik tersebut
4. Selanjutnya menentukan media yang cocok dan sesuai dengan tujuan dan sesuai dengan karakteristik siswa, baik dari segi jumlahnya, maupun dari segi karakteristik lainnya, atau media yang sesuai dengan kemampuan produksi, fasilitas yang dimilii dan biaya yang tersedia.
5. Evaluasi perlu dilakukan untuk mempertimbangkan lebih matang kelebihan dan kekurangan media yang telah menjadi pilihan. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara mereviu oleh beberapa pihak yang terkait, seperti guru, atau siswa. Apabila cocok, maka akan langsung diproduksi dan apabila tidak maka harus kembali pada langkah IV untuk memilih alternative media yang lainnya .
6. Langkah terakhir adalah melakukan perencanaan untuk pengembangan dan produksi media. Tahap ini dapat dilakukan dengan

Daftar Pustaka

Abdul Gafur (1986). Disain instruksional: langkah sistematis penyusunan pola dasar kegiatan belajar mengajar. Sala: Tiga Serangkai.

Abdul Gafur (1987). Pengaruh strategi urutan penyampaian, umpan balik, dan keterampilan intelektual terhadap hasil belajar konsep. Jakarta : PAU – UT.

Bloom et al. (1956). Taxonomy of educational objectives: the classification of educational goals. New York: McKay.

Center for Civics Education (1997). National standard for civics and governement. Calabasas CA: CEC Publ.

Dick, W. & Carey L. (1978). The systematic desgin of instruction. Illinois: Scott & Co. Publication.

Direktorat Pendidikan Menengah Umum (2001). Kebijakan pendidikan menengah umum. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

Edwards, H. Cliford, et.all (1988). Planning, teaching, and evaluating: a competency approach. Chicago: Nelson-Hall.

Hall, Gene E & Jones, H.L. (1976) Competency-based education: a process for the improvement of education. New Jersey: Englewood Cliffs, Inc.

Joice, B, & Weil, M. (1980). Models of teaching. New Jersey: Englewood Cliffs, Publ.

Kemp, Jerold (1977). Instructional design: a plan for unit and curriculum development. New Jersey: Sage Publication.

Kaufman, Roger A. (1992). Educational systems planning. New Jersey: Englewood Cliffs.

Marzano RJ & Kendal JS (1996). Designing standard-based districs, schools, and classrooms. Vriginia: Assiciation for Supervision and Curriculum Development.

McAshan, H.H. (1989). Competency-based education and behavioral objectives. New Jersey: Educational Technology Publications, Engelwood Cliffs.

Oneil Jr., Harold F. (1989). Procedures for instructional systems development. New York: Academic Press.

Reigeluth, Charles M. (1987) Instructional theories in action: lessons illustrating selected theories and models. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publ.

Posted in Uncategorized | Leave a Comment »

METODE PELATIHAN AFEKTIF

Posted by roymundussetya pada Maret 19, 2010

I. PENDAHULUAN

. Dalam kesempatan kali ini kita akan membahas bab selanjutnya yaitu metode afektif. Metodologi pelatihan partisipatori dengan fokus khususnya pada metode-metode afektif bertujuan untuk memperbaiki keseluruhan proses pembelajaran baik cara belajar, mengajar, cara berinteraksi diantara guru dan murid dsb ditinjau dari aspek afektif atau sikap.
Kawasan Afektif meliputi Receiving, Responding, Valuing, Organization dan Correcterzation by value. Pengertian dari berbagai kawasan afektif yaitu :
a) Receiving
Kemampuan menerima yaitu perhatian terhadap stimulus atau rangsangan secara pasif yang meningkat menjadi aktif.
b) Responding
Kemampuan menanggapi yaitu merespon merupakan kesengajaan untuk menanggapi stimulus atau rangsangan dan merasa terikat serta secara aktif memperhatikan.
c) Valuing
Berkeyakinan atau menilai yaitu menilai gejala atau kegiatan sehingga dengan sengaja merespon lebih lanjut untuk mencari jalan bagaimana dapat mengambil atas apa yang terjadi.
d) Organization
Penerapan kerja atau mengorganisasi merupakan kemampuan untuk membentuk system nilai bagi dirinya berdasarkan nilai-nilai yang diresponnya.
e) Correcterzation by value
Ketelitian merupakan kemampuan untuk mengkonseptualisasikan masing-masing nilai waktu merespon stimulus dengan jalan mengkarakteristik nilai atau membuat pertimbangan-pertimbangan.
Bentuk interaksi diantara pengajar dan peserta didik merupakan kunci dari pembinaan sikap atau afektif. Persepsi diantara pengajar dan peserta didik berbeda-beda. Hubungan timbal balik yang terjalin diantara pengajar dan peserta didik akan berpengaruh terhadap sikap yang akan terbentuk sebagai hasil dari kegiatan belajar mengajar.
Pada ranah afektif apabila kita akan mengukur aspek afektif yang berhubungan dengan pandangan peserta didik maka pertanyaan yang disusun menghendaki respon yang melibatkan ekspresi, perasaan atau pendapat pribadi peserta didik terhadap hal yang relatif sederhana namun bukan fakta. Sedang apabila kita ingin melakukan penilaian afektif tentang sikap, maka kita akan menyusun pertanyaan mengenai respon peserta didik yang melibatkan sikap atau nilai.
Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor dipengaruhi oleh kondisi afektif. Peserta didik yang memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap pelajaran akan merasa senang mempelajari mata pelajaran tertentu, sehingga dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu untuk mencapai hasil belajar yang optimal dalam pembelajaran partisipatif harus memperhatikan metode afektif yang dapat diterapkan pada peserta didik.

II. PEMBAHASAN

A. Karakteristik Ranah Afektif

Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif (Andersen, 1981:4). Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Intensitas menyatakan derajat atau kekuatan dari perasaan. Ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral.
1. Sikap
Sikap merupakan suatu kencenderungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu.
2. Minat
Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990: 583), minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.
3. Konsep Diri
Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Arah konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi.
Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat.
4. Nilai
Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan.
Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif terhadap masyarakat.
5. Moral
Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak. Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui penafsiran respon verbal terhadap dilema hipotetikal atau dugaan, bukan pada bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak.
Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.

B. Metode-Metode Afektif

 Diskusi kelompok kecil (membagi dalam bentuk kelompok yang beranggota sedikit agar semua anggota kelompok memiliki kesempatan dalam berpendapat)
 Permainan Peran : adalah suatu pengalaman terstruktur dimana orang-orang yang belajar mendapatkan suatu kesempatan untuk beraksi mengenai persoalan-persoalan yang berkenaan dengan hubungan manusia dan interaksi manusia dihadapan kelompok sesama orang yang belajar dan fasilitator-fasilitator.
 Latihan adalah suatu metode yang membantu untuk memahami proses-proses yang sulit dan rumit.
 Simulasi adalah suatu metode pembelajaran interaktif , simulasi melibatkan penyusunan dan penciptaan kembali suatu situasi yang rumit didalam konteks suatu program pelatihan.. Variasi dan teknik simulasi yaitu atas dasar fokus pembelajaran ( bersifat organisasional atau sosial, simulasi dinamika organisasional, simulasi sosial, simulasi partisipasi wanita di dalam pembangunan)
 Studi kasus adalah metode yang melibatkan pembelajaran melalui pengalaman orang lain atau organisasi lain secara spesifik pada saat pengalaman itu tidak tersedia bagi kelompok itu sendiri.
 Permainan pembelajaran adalah metode–metode yang menyenangkan, lincah dan melibatkan hampir semua peserta
 Metode energizer/ice breaker bukanlah metode pembelajaran sesungguhnya tetapi memenuhi tujuan dari nama yang ditunjukan ( ada aktivitas yang menyenangkan, kadang menggunakan gerak fisik untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang sesuai)
 Alat adalah suatu pengalaman yang terstruktur dimana orang yang belajar diberikan suatu format cetakan tertentu yang berisi perintah yang jelas dan serangkaian pertanyaan.
Variasi atau teknik alat bisa berdasarkan pada antar pribadi maupun dalam pribadi pada analisis.
Beberapa metode-metode afektif diatas akan coba kami jabarkan secara ringkas dan mendalam melalui pembahasan sebagai berikut:
1. Diskusi Kelompok Kecil

Diskusi kelompok kecil dengan partisipasi, berbagi pengalaman, dan kendali gabungan atas proses pembelajaran merupakan dasar metode ini. Metode ini menggunakan prinsip perwakilan dan pemfungsian yang demokratis. Metode yang efektif dipakai dalam tahap awal pelatihan karena membantu membangun kelompok tersebut dan lingkungannya. metode ini juga memberikan kesempatan kepada semua peserta untuk berbagi pengalaman, gagasan, mengajukan pertanyaan dan mengkritik isu-isu.
Metode diskusi kelompok kecil dapat digunakan dengan metode ganda yang lain seperti kuliah, permainan peran, simulasi, studi kasus, dsb. Namun sebelum kita menggunakan dengan metode yang lain agar penggunaan metode dapat efektif maka syarat-syarat tertentu harus dipenuhi agar perpindahan tahap satu ke tahap yang lain bisa saling berkesinambungan.
Keuntungan :
 membantu anggota kelompok mengenali apa yang harus dilakukan dan tidak mereka ketahui dalam hubungan dengan anggota lain dalam kelompok.
 membantu mencoba menjawab pertanyaan melalui pengalaman dan wawasan anggota yang lain.
 memberikan kesempatan pada anggota yang bersifat pendiam, pemalu dan terhambat agar mampu berhubungan dengan anggota yang lain.
 membantu membangun dan meningkatkan keterlibatan anggota dalam tugas dan proses kelompok
 meningkatkan rasa memiliki kelompok dan kreativitas
 terjadi proses mendalami teori, membangun kelompok dibandingkan dalam kelompok besar
 adanya pengalaman beragam untuk menantang pengalaman yang dominan dan berpikir mengenai gagasan yang baru dan ideal serta memungkinkan perumusan baru
Keterbatasan :
 memperlukan fasilitas aktif dan fasilitator pada tahap awal
 bila tidak dilaksanakan dengan baik dapat menjadi metode yang menghabiskan waktu dan memperlukan kesabaran
 anggota yang dominan terkadang menghambat anggota lain dalam berpendapat
 diperlukan ruang yang lebih luas untuk mengakomodir kelompok kecil
 terkadang pembicaraan hanya sekedar cerita
 bila fasilitator menganggap diskusi kelompok kecil sebagai penanggan untuk kelompok besar bukan partisipasi maka proses demokrasi akan berkurang
 bila menggunakan metode yang berlebihan menjadikan kelompok menjadi stereotype
Tip bagi fasilitator :
 fasilitator seharusnya membuat peran yang jelas dan tanggung jawab yang jelas
 fasilitator harus mendistribusikan tanggung jawab pada seluruh anggota kelompok
 10 menit sebelum waktu habis, fasilitator mengingatkan batas waktu dan mendorong mereka menyelesaikan waktu
 fasilitator mengecek alat tulis dan memberikan perhatian pada gangguan yang akan menggangu jalannya diskusi, kelompok yang telah selesai dilarang menganggu kelompok yang lain
 laporan yang telah tersusun dilaporkan, termasuk isu-isu yang muncul
 adanya konsolidasi dan peringkasan laporan
Variasi dan teknik metode diskusi kelompok kecil terbagi berdasarkan tujuan dan tugas yang diberikan pada kelompok. Bila bertujuan untuk berbagi pengalaman maka tugasnya sama sedangkan bila tujuannya ingin mengeksplorasi maka tugas-tugas dibagi menjadi aspek yang berbeda. Variasi dari teknik metode diskusi kelompok kecil yaitu berdasar durasi (kelompok yang berbicara desas desus dan kelompok sindikat), sub tema (teknik carousel, dan teknik jigsaw), berdasarkan perbedaan tugas pada kelompok ( topi hitam- topi hijau, mangkok ikan).

2. Permainan Peran

Keuntungan :
 metode yang sederhana dan biaya rendah
 berfokus pada persoalan dan membantu orang –orang yang belajar untuk menghadapi
 adanya isu pokok yang besar dalam periode waktu yang singkat
 memberikan kesempatan dengan resiko yang rendah kepada individu-indivisu untuk mencoba dengan pola baru dan terbuka terhadap dukungan dan pemahaman kelompok
 mengungkap seorang individu dalam berbagai sudut pandang dan reaksi pada situasi tertentu yang mungkin tidak memungkinkan dalam kenyataan
 tidak memperlukan banyak bahan atau persiapan lanjutan
Keterbatasan :
 jika orang yang belajar tidak sepenuhnya terlibat maka pembelajaran bisa terhambat
 peserta yang terlibat secara mendalam dalam peran-peran mereka mungin akan kehilangan dalam obyektivitas
 bila tidak berhati-hati maka peran akan diperankan secara berlebih-leihan, terganggu atau kurang dari seharusnya peran yang dimainkan sehingga mengurangi potensi dalam pembelajaran
 pencerminan diperlukan untuk menyoroti isu-isu dan dinamika peran yang dimainkan bila perhatian tidak cukup akan mengurangi pembelajaran permainan peran.
Tip bagi fasilitator :
 fasilitator harus menyusun tahap untuk aktivitas permainan peran
 sasaran pembelajaran dan pelajaran harus ditentukan terlebih dahulu sebelum memilih suatu permainan peran tertentu
 fasilitator harus waspada terhadap terhadap persoalan-persoalan emosional yang akan menggangu dalam permainan peran
 diskusi dan analisis kelompok menyusul permainan peran dan kepedulian harus diberikan tidak untuk meremehkan individu manapun
 fasilitator seharusnya mengidentifikasi suatu persoalan dan situasi yang berarti bagi kelompok tersebut dan akan memenuhi sasaran –sasaran pembelajaran
 persoalan didefinisi dengan baik, spesifik dan tidak terlalu rumit strukturnya
 menyeleksi individu untuk permainan peran mungin bersifat sukarela yang diputuskan di antara para anggota atau oleh fasilitator
 fasilitator tidak perlu mendorong individu yang merasa ragu-ragu dalam memotret suatu peran tertentu
 agar pembelajaran berlangsung maka keterlibatan aktif dari orang – orang yang belajar bersifat pokok
 dalam menyusun tahap, dasar pemikiran dari situasi – situasi permainan peran seharusnya dijelaskan
 permainan peran harus segera dihentikan apabila pada adegan tertentu diperpanjang dan mengalami jalan buntu
 adanya pembatasan waktu yang jelas
 selama sesi berbagi dan analisis, diskusi seharusnya difokuskan pada pengamatan, perasaan, pemahaman bukan pada pendapat dan saran-saran
 jika diagnosis dari persoalan membuka seluruh cara menyelesaikan suatu persoalan maka situasi permaian peran yang berbeda bisa dicoba untuk dipraktekan dalam pendekatan dan tindakan baru.
Variasi dan teknik permainan peran bisa digolongkan berdasar fokus pembelajaran ( berorientasi pada proses dan sosiodrama atau isu-isu sosial), kelompok yang tampil (permainan peran sederhana dan ganda)

3. Latihan

Keuntungan
Beberapa keuntungan kunci dari latihan sebagai metode pembelajaran adalah;
 Latihan merupakan suatu metode yang sederhana dan berbiaya rendah.
 Latihan mengungkapkan suatu situasi yang mungkin tidak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata.
 Latihan membantu mencitakan kewaspadaan terhadap isu nilai dan persepsi
Keterbatasan
 Latihan tidak tersedia dengan mudah dan harus dirancang.
 Latihan mendorong banyak emosi dan tegang pada saat-saat tertentu.

4. Simulasi

Simulasi merupakan suatu metode pembelajaran praktek interaktif yang melibatkan penciptaan situasi atau ruang belajar dalam suatu program pelatihan.Tujuan dari simulasi adalah untuk memunculkan pengalaman pembelajaran selama mengikuti program pelatihan. Metode ini mirip dengan permainan peran, tetapi dalam simulasi, peserta peserta lebih banyak berperan sebagai dirinya sendiri saat melakukan kegiatan. Misalnya: sebelum melakukan praktek penerbangan, seorang siswa sekolah penerbangan melakukan simulasi penerbangan terlebih dahulu (belum benar-benar terbang)

Variasi /Teknik dalam Simulasi
 Simulasi Organisasional : simulasi ini bermaksud mengajak peserta melalui suatu pengalaman berbagi dinamika organisasi untuk memahami dan menganalisis isu-isu organisasi.
 Simulasi sosial : simulasi ini dimaksudkan mengajak peserta melalui suatu pengalaman yang berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial.

5. Studi Kasus

Metode studi kasus bisa dilaksanakan dalam langkah-langkah berikut:
 Membaca atau mendengarkan presentasi kasus secara bersama
 Pencerminan individual mengenai beberapa kunci yang disoroti dalam ringkasan.
 Diskusi kelompok kecil untuk mengekplorasi isu lebih lanjut.
 Menyarikan wawsan
 Analisis dan sintesis bersama
 Peringkasan
 Umpan balik pada berbgai kemungkinan yang sekarang ada untuk tindakan.

6. Permainan Pembelajaran

Keuntungan
 Permainan ini lincah, menyenangkan, dan melibatkan partisipasi setiap orang.
 Isu-isu yang rumit bisa dijelaskan dalam suatu cara yang sederhana.
Keterbatasan
 Menemukan atau merancang permainan yang sesuai tidaklah begitu mudah
 Permainan menimbulkan kesenangan terkadang menjadikan tujuan pembelajaran kabur/tidak kena sasaran.
Tip-tip bagi fasilitator
 Fasilitator seharusnya berhati-hati untuk memilih suatu permainan yang sesuai sehingga memenuhi sasaran pembelajaran.
 Fasilitator seharusnya memberikan perintah pada permulaan permainan.
 Fasilitator seharusnya mampu menarik pembelajaran dari permainan.

7. Energizer/Ice Breaker

Energizer/Ice Breaker bukanlah metode pembelajaran yang sesungguhnya, tetapi memenuhi tujuan dari nama yang ditunjukkan. Kegiatan ini merupakan aktivitas yang menyenangkan dan kadang-kadang menggunakan gerakan fisik untuk menciptakan suasana lingkungan pembelajaran yang sesuai. Permainan ini membantu individu untuk berinteraksi satu sama lain dan menciptakan suatu perasaan kelompok. Permainan, lagu dan latihan fisik bisa digunakan, membantu dalam memperkenalkan para peserta satu sama lain, dan memecahkan kemonotonan. Ice Breaker bisa digunakan kapanpun komunikasi telah berlangsung, pada awal atau setengah jalan melalui suatu latihan atau lokakarya.

8. Alat-alat

Keuntungan
 Bisa menjadi suatu metode yang sangat efektif untuk belajar lebih jauh tentang diri seseorang sendirimelalui pengujian diri yang sistematis, pencerminan, dan dalm beberapa kasus umpan balik
 Orang yang belajar tidak merasakan tekanan atau dorongan eksternal
Keterbatasan
 Hanya bisa digunakan dengan sebuah kelompok yang berpendidikan
 Membutuhkan sebuah kejujuran dan kepentingan asli dipihak orang yang belajar untuk memunculkan data yang berarti.
 Bekerja lebih baik dengan orang-orang yang bisa belajar secara intelektual pada tingkat absraksi.
 Sangat sulit untuk merancang alat seperti ini
Tip-tip bagi fasilitator
Fasilitator seharusnya menjelaskan pertanyaan secara tepat kepada para peserta, jka tidak maka bisa mengarah pada penentuan skor yang salah dan lambat laun pada interpretasi yang salah.
Variasi/Teknik alat
Alat bisa dibedakan dalam dual hal yaitu:
 Alat antar pribadi, Dalam hal ini, fokusnya adalah mengetahui perilaku seseorang sendiri dan analisis dilakukan pada tingkat individu oleh individu
 Alat dalam pribadi. Alat ini diisi oleh individu atau anggota kelompok, dilakukan proses analisis serta umpan balik yang dilakukan didalam kelompok.
III. PENUTUP

Demikian pembahasan kita mengenai beberapa contoh metode-metode afektif. Metode – metode afektif yang terdiri diskusi kelompok kecil, permainan peran, latihan, simulasi, studi kasus, permainan pembelajaran, energizer atau ice breaker dan alat. memiliki keuntungan dan keterbatasan masing-masing apabila digunakan. Namun pemilihan dan penggunaan metode-metode afektif yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi semoga mampu untuk memperbaiki keseluruhan proses pembelajaran baik cara belajar, mengajar, cara berinteraksi diantara guru dan murid dsb ditinjau dari aspek afektif atau sikap.
Permasalahan yang kita hadapi saat ini adalah sudah siapkan pengajar dan pebelajar dalam menggunakan metode-metode afektif. Sebab kita tahu bahwa penguasaan metode-metode afektif, hanya salah satu pihak saja kurang memaksimalkan hasil yang diharapkan.

Daftar Pustaka

Andersen, Lorin. W. (1981). Assessing affective characteristic in the schools. Boston: Allyn and Bacon.

Anju Dwivedi. 2006. Merancang Pelatihan Pelatihan Partisipatif Untuk Pemberdayaan. Yogyakarta : Pondok Edukasi.

Arikunto, Suharsimi. 2001. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta : Bumi Aksara.

Dewi SP, Eveline Siregar.2004. Mozaik Teknologi Pendidikan. Universitas Negeri Jakarta.

Sowel, E.J. 2000. Corriculum : An Integrative Introduction. Upper Saddle River, New Jersey : Merrill.

Sudrajat, Akhmad (2008), Pembelajaran Afektif. http:/akhadsudrajat.wordpress.com, 15 Juni 2009.

Posted in Uncategorized | Leave a Comment »

Model Belajar (Siswa) Konstruksivisme

Posted by roymundussetya pada November 9, 2009

Dalam paradigma pembelajaran, guru menyajikan persoalan dan mendorong (encourage) siswa untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, berhipotesis, berkonjektur, menggeneralisasi, dan inkuiri dengan cara mereka sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang disajikan. Sehingga jenis komunikasi yang dilakukan antara guru-siswa tidak lagi bersifat transmisi sehingga menimbulkan imposisi (pembebanan), melainkan lebih bersifat negosiasi sehingga tumbuh suasana fasilitasi.
Dalam kondisi tersebut suasana menjadi kondusif (tut wuri handayani) sehingga dalam belajar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuan dan opengalaman yang diperolehnya dengan pemaknaan yang lebih baik. Siswa membangun sendiri konsep atau struktur materi yang dipelajarinya, tidak melalui pemberitahuan oleh guru. Siswa tidak lagi menerima paket-paket konsep atau aturan yang telah dikemas oleh guru, melainkan siswa sendiri ang mengemasnya. Mungkin saja kemasannya tidak akurat, siswa yang satu dengan siswa lainnya berbeda, atau mungkin terjadi eksalahan, di sinilah tugas guru memberikan bantuan dan arahan (scalfolding) sebagai fasilitator dan pembimbing. Keslahan siswa merupakan bagian dari belajar, jadi harus dihargai karena hal itu cirinya ia sedang belajar, ikut partisipasi dan tidak menghindar dari aktivitas pembelajaran.
Hal inilah yang disebut dengan konstruksivisme dalam pembelajaran, dan memang pembelajaran pada hakikatnya adalah konstruksivisme, karena pembelajaran adalah aktivitas siswa yang sifatnbya proaktif dan reaktif dalam membangun pengetahuan. Agar konstruksicvisme dapat terlaksana secara optimal, Confrey (1990) menyarankan konstruksivisme secara utuh (powerfull constructivism), yaitu: konsistensi internal, keterpaduan, kekonvergenan, refeleksi-eksplanasi, kontinuitas historical, simbolisasi, koherensi, tindak lanjut, justifikasi, dan sintaks (SOP)

Posted in Uncategorized | Leave a Comment »

Model Pembelajaran Koperatif (CL, Cooperative Learning).

Posted by roymundussetya pada November 9, 2009

Pembelajaran koperatif sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang penuh ketergantungan dengan otrang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembegian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyatan itu, belajar berkelompok secara koperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Jadi model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siawa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada control dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.
Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.

Posted in Uncategorized | Leave a Comment »

Kompetensi Siswa

Posted by roymundussetya pada November 9, 2009

Kompetensi (competency) adalah kata baru dalam bahasa Indonesia yang artinya setara dengan kemampuan. Siswa yang telah memiliki kompetensi mengandung arti bahwa siswa telah memahami, memaknai dan memanfaatkan materi pelajaran yang telah dipelajarinya. Dengan perkataan lain, ia telah bisa melakukan (psikomotorik) sesuatu berdasarkan ilmu yang telah dimilikinya, yang pada tahap selanjutnya menjadi kecakapan hidup (life skill). Inilah hakikat pembelajaran, yaitu membekali siswa untuk bisa hidup mandiri kelak setelah ia dewasa tanpa tergantung pada orang lain, karena ia telah memiliki komptensi, kecakapan hidup. Dengan demikian belajar tidak cukup hanya sampai mengetahui dan memahami.
Kompetensi siswa yang harus dimilki selama proses dan sesudah pembelajaran adalah kemampuan kognitif (pemahaman, penalaran, aplikasi, analisis, observasi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, koneksi, komunikasi, inkuiri, hipotesis, konjektur, generalisasi, kreativitas, pemecahan masalah), kemampuan afektif (pengendalian diri yang mencakup kesadaran diri, pengelolaan suasana hati, pengendalian impulsi, motivasi aktivitas positif, empati), dan kemampuan psikomotorik (sosialisasi dan kepribadian yang mencakup kemampuan argumentasi, presentasi, prilaku). Istilah psikologi kontemporer, kompetensi / kecakapan yang berkaitan dengan kemampuan profesional (akademik, terutama kognitif) disebut dengan hard skill, yang berkontribusi terhadap sukses individu sebesar 40 % . Sedangkan kompetensi lainnya yang berkenaan dengan afektif dan psikomotorik yang berkaitan dengan kemampuan kepribadian, sosialisasi, dan pengendalian diri disebut dengan soft skill, yang berkontribusi sukses individu sebesar 60%. Suatu informasi yang sangat penting dan sekaligus peringatan bagi kita semua.

Posted in Uncategorized | Leave a Comment »

BERTEMU DENGAN (MANTAN) MURID

Posted by roymundussetya pada November 25, 2008

Keresahan perasaan saya sebagai guru bukan apakah murid saya nanti bisa sukses atau tidak, tetapi lebih dalam dari itu. Dapatkah mereka dapat berkembang dan menjiwai hidupnya untuk berperan dalam masyarakat. Sukses dalam hidupnya, para mantan murid saya bisa lebih mudah meraih hal itu, jika itu diartikan sebagai kemapanan kehidupan ekonomi.

Jawaban atas keresahan itu terjawab, walau ini tentu kurang representatif. Sebab dari ribuan (mantan) murid saya, saya baru menemukan beberapa dan satu diantaranya akan saya bagikan pengalamannya. Saya berharap pengalaman ini akan menjadi model bagi siapapun tentang peran serta kita dalam kehidupan.

Libur akhir tahun pelajaran 2007/ 2008, saya sempatkan “pulang kampung” ke Djogja, tempat yang telah memberikan pengalaman  heroik tentang suka duka dan perjuangan untuk sekolah dan lulus kuliah. Biasanya kami sekeluarga besar kumpul saat anak-anak libur sekolah. Kecuali sebagai ajang kangen-kangenan kami, juga menjadi media bagi anak-anak untuk membiasakan diri dengan mbahnya dan juga agar mereka dapat bergaul dengan sepupunya. Maklum peristiwa semacam ini hanya terjadi setahun sekali.

Piknik yang kami pilih bukan jalan-jalan ke mall atau taman wisata, tetapi ke Hutan Wanagama Gunung Kidul, eksotik memang. Singkat cerita kami bercekerama di sana, memaksa anak-anak untuk melihat pohon-pohon besar termasuk pengalaman digigit pacet (semacam lintah). Biarlah ini menjadi pengalaman unik dan direfleksikan sendiri oleh anak-anak.

Pulang dari piknik petualang, kami mampir di rumah makan ayam goreng paling terkenal di kota Wonosari Gunung Kidul. Semua kursi terisi oleh geng kami, ada 27 personil. Kami nikmati suasana itu. Agak terganggu konsentrasi makan saya ketika ada tiga orang masuk warung makan, 1 perempuan dan 2 lelaki. Karena tidak kebagian tempat, mereka dengan cuek duduk di depan warung dengan bangku panjang dari kayu dan ada yang duduk di bumper jip yang mereka tumpangi.

Masalahnya adalah, saya mengenal perempuan dalam itu. Dengan penampilan yang sama sekali berbeda dengan 8 tahun lalu ketika dia menjadi murid saya. Ya.. dia adalah mantan murid saya. Dulu dia sebagai gadis yang sopan, tekun belajar dan halus tutur katanya. Saat kutemukan di warung itu, agak kaget saya : bersepatu booth kulit, celana dan baju kanvas, pakai topi atom (proyek). Ada perlengkapan mounthenering dan harnest menggantung di pinggangnya. Pertanyaan saya, apakah ini Linda mantan murid saya, saya jadi ragu.

Saya coba percepat makan, karena Linda juga sudah selesai makan. Buru-buru saya akan menyapanya. Betul, ketika saya hampiri dia di depan warung, terperanggah dia, berdiri dan melempar topi atomnya ke bangku dan menjabat erat tangan saya, lagi-lagi saya heran, karena jabat tangannya adalah jabat tangan komando (ala tentara).  Mulailah dia cerita perjalanan hidupnya. Lulus SMA Ursulin, melanjutkan ke T. Sipil di PTS terkenal di Djogja. Setelah lulus kuliah, ada dilema : meneruskan usaha orang tua di Solo, kerja dulu atau studi S2. Pilihannya jatuh pada bekerja terlebih dahulu. Hal ini membuat kedua orang tuanya keberatan, kerana orang tuanya punya usaha yang membutuhkan penanganannya. Tapi katanya orang tuanya bisa mengerti.

Pekerjaan yang dipilih ternyata bukan lembaga profit, tetapi sebuah lembaga nirlaba atau lebih dikenal semacam LSM dari jerman yang sedang punya proyek pengadaan air bersih di Gunung Kidul yang setiap tahun kekeringan selama 8 bulan lebih. Motivasinya cukup mengejutkan saya juga, yaitu ” Dalam hidup saya ini, saya ingin berperan dalam kehidupan orang lain”. Itu tentu luar biasa, sebuah panggilan hidup yang nyata. Pekerjaan yang dilakukan sangatlah berat, seorang perempuan harus turun naik “luweng” (semacam gua vertekal/ sumur alam yang di dalamnya ada sungai mengalir) yang dalamnya sampai 300 meter. Gila benar, seorang gadis (maaf) cantik harus melakukan itu, sementara kehidupan di rumah tumpah ruah berkecukupan. Resiko yang begitu besar telah dia persembahkan untuk kehidupan orang lain. Menurut ceritanya, dia turun naik luweng menggunakan eskalator portebel yang hanya ditari dengan “Satu” string (semacam tali dari baja) yang besarnya sama dengan jari telunjuk pak Roy ini.

Itulah kehidupan yang telah dipilihnya. Satu hal yang dia katakan saat mengakhiri perbincangan kami. “Saya tidak berubah pak”. Lalu dia bercerita, ada beberapa temannya yang berubah yang berubah ketika lulus dari Ursulin. Kebiasaan belajar keras, disiplin dan hidup teratur ditinggalkan. Tapi dia tidak, sehingga ketika kuliah semua bisa dilalui dengan lancar, bahkan dikatakan relatif mudah. Setelah tiga tahun berjuang untuk menaikan air yang ternyata tidak mudah dan banyak kendala teknis, sosial, kultural dll. Mantan murid saya ini akan bertolak ke Jerman melanjutkan studi atas bea siswa dari Jerman. Loh.., memang itu keinginannya dari dulu, tetapi tidak dia bayangkan sama sekali, karena kesungguhannya membantu orang lain membuat berkat itu datang sendiri. Berkali-kali dia pesan untuk adik-adiknya yang masih di Ursulin untuk tidak pernah berubah ketika lulus Ursulin. Tetap kerja (belajar) keras dan disiplin.

Refleksi :

  1. Disiplin dan kerja keras ternyata membuahkan hasil yang memuaskan
  2. Jadikanlah hidup kita menjadi bermakna bagi orang lain.
  3. Jangan pernah berubah, bila kebiasaan baik telah terbangun dalam diri kita
  4. Apabila kita dengan rela dan sungguh-sungguh dalam menjalankan pekerjaan kita maka berkat itu akan datang dengan sendirinya.

Posted in Uncategorized | 1 Comment »

MEMBANGUN KOMUNIKASI DENGAN GURU

Posted by roymundussetya pada November 25, 2008

Hubungan antara guru dan siswa adalah hubungan timbal balik atau interaksi. Sehingga seyogyanya bila ada sesuatu yang mengganggu proses belajar di kelas segera diselesaikan bersama, bukan sendiri-sendiri. Siswa harus proaktif dan memiliki inisiatif untuk menyelesaikan masalah. Guru harus proposional dalam menempatkan diri, kerena subyek pendidikan adalah siswa maka guru sebagai fasilitator harus siap melayani. Permasalahan yang sering muncul dalam hubungan antara guru dan siswa contohnya : guru mengajar terlalu cepat, guru mengajar tidak jelas, guru mudah marah, tidak obyektif dalam bersikap terhadap semua siswa, kurang menarik dalam mengajar dll. Terlepas dari apakah penilaian siswa terhadap guru itu juga obyekti, tetapi  kita akan mengurai agar masalah yang sering timbul di kelas bisa diatasi.

Apabila ada permasalahan yang dirasakan mengganggu kegiatan belajar di kelas atau dalam hubungan keseharian antara guru dan siswa, perlu adanya komunikasi yang baik untuk menyelesaikannya. Tahap-tahap yang ditawarkan agar kita bisa menjalin komunikasi yang ideal dengan guru ;

  1. Pilihlah waktu yang tepat : Pemilihan waktu ini penting karena biasanya penyelesaian masalah membutuhkan waktu yang cukup untuk menuntaskannya.
  2. Buatlah janji ketemu : Kita harus membuat janji untuk ketemu, sehingga kedua belah pihak dapat fokus pada kepentingan mereka ketika bertemu.
  3. Jangan memaksa : Bila tidak ada kesepakatan waktu atau ketersediaan guru jangan memaksa untuk bicara, karena justru kan menjadi masalah baru.
  4. Kalau sudah ketemu dan waktu tersedia : mulailah dengan membuka pembicaraan ringan dulu jangan langsung ke masalah.
  5. Katakan masalah : Sampaikanlah masalah yang sedang dihadapi dengan sistematis, ungkapkan pula akibat dari masalah itu. Misalnya, guru mengajar terlalu cepat : tidak semua siswa siap dengan cara mengajar “Bapak/ Ibu”, karena latar belakang kemampuan yang berbeda. Akibat guru mengajar cepat, siswa kesulitan dalam menangkap, mempelajari materi.
  6. Minta saran : Ada kemungkinan guru tidak mau berubah karena punya alasan, siswa harus minta saran kepada guru sebaiknya bagaimana menyesuaikan diri dengan gaya mengajar guru.
  7. Libatkan pihak ketiga : bila menyangkut hal-hal yang sensitif dan bukan menjadi porsi siswa untuk menyelesaikannya, mintalah bantuan pihak ketiga. Bisa wali kelas atau guru BK/BP.
  8. Setiap permasalhan harus diselesaikan, jangan dikumpulkan sehingga menjadi gunung masalah yang dapat runtuh sewaktu-waktu. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Semakin kita mampu menyelesaikan masalah, berarti kita semakin cerdas dan terampil dalam menjalani hidup ini.

Semoga tulisan ini menjadi referensi bagi siapapun, selamat mencoba dan selamat belajar.

Posted in Uncategorized | Leave a Comment »

Mengatasi Rasa Takut Saat Ulangan

Posted by roymundussetya pada Oktober 24, 2008

Ulangan, adalah hal yang biasa saja, karena memang ulangan mau tidak mau harus dilalui jika kita sekolah. Bagi sebagian kecil siswa ulangan bisa jadi menjadi momok yang menakutkan. Terlepas dari mana asal rasa takut itu, yang jelas rasa takut saat menghadapi ulangan harus dihilangkan. Dalam menejemen belajar (Rogers 1978), rasa takut adalah kondisi di mana seseorang tidak mampu mengelola fungsi dari aspek psikis saat menghadapi suatu obyek. Obyek di sini bisa benda, kejadian, peristiwa dll. Kegagalan mengelola aspek psikis ini dapat berakibat pada stagnan (berhentinya) fungsi psikomotorik. Contoh : Seorang anak yang takut pada kecoa, saat melihat kecoa justru tidak dapat bergerak sama sekali. Atau, seorang siswa yang takut menghadapi ulangan justru tidak bisa menggerakan tangannya saat akan mengerjakan soal, biasanya gemeteran, berkeringat dll.

Kita harus mengalahkan rasa takut dengan mengalahkannya, atau paling tidak kalau kita adopsi teori Rogers maka kita harus “mengelolanya”. Ingat di saat banyak orang ketakutan dengan harimau di kebun binatang, sang pawang justru bercanda ria, itu karena dia dapat mengalahkan rasa takut dan mengelolanya dengan baik. Berikut ini akan kita lihat bersama bagaimana kita dapat mengalahkan rasa takut saat ujian :

  1. Anggap Ulangan Sebagai Hal Wajar : Ulangan, sesorang yang akan pergi ke sekolah dan harus melewati jembatan. Jika jembatan dianggap sebagai hal yang wajar, tempat yang harus dilewati setiap hari maka anak itu juga akan enjoy saja setiap hari melewatinya. Begitu juga dengan ulangan, kalo kita menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dan kita harus melakukannya, niscaya ulangan justru menjadi momen yang kita tunggu.
  2. Berfikir Positif : Jangan berpikiran  buruk dulu dengan hasil ulangan karena hasilnya belum diketahui saat anda ulangan. Karena anda akan menjadi pecundang, orang yang selalu kalah. Tempuh dulu ulangan dengan rasa percaya diri, jangan berfikir tentang kegagalan.
  3. Olah Alam Bawah Sadar : Kita harus selalu mengatakan pada diri kita, setiap saat, bisa diucapkan langsung maupun dalam hati bahwa kita Berhasil dalam Ulangan. Kalau hal ini kita lakukan terus menerus, maka alam bawah sadar kita akan mengolah pesan ini menjadi action , yaitu sebuah tindakan yang merupakan usaha untuk mewujudkan hasil yang kita inginkan : Berhasil.
  4. Persenjatai Diri Anda : Modal kemampuan saja tidak cukup untuk berhasil lepas dari rasa takut saat ujian. Asahlah kemampuan anda setiap saat, sehingga kemampuan yang anda asah itu akan menjadi senjata yang mematikan rasa takut. Anda akan lebih PD dan mantap melangkah menghadapi ujian.

Hal-hal di atas merupakan referensi saja, kunci kemenangan tetap pada bagaimana diri kita mampu mengolah dan mengelola diri agar mampu mengalahkan rasa takut saat ulangan. Ulangan bukan peristiwa yang menakutkan, tetapi sebuah jalan yang harus kita lewat setiap saat. Kita pasti tidak bisa bersembunyi darinya. Tetapi sebaiknya kita menyongsong saja sang “ULANGAN” supaya dia akrab dengan kita.

 

Good Luck

Posted in Uncategorized | Leave a Comment »

Tip Memilih Jurusan di SMA

Posted by roymundussetya pada Oktober 9, 2008

Memilih jurusan di SMA menjadi penting karena disinilah awal dari sebuah perjalanan menggapai cita-cita dimulai. Salah memilih jurusan bisa membuat kita frustrasi dan tentu mengganggu perkembangan diri kita. Jurusan yang ada di SMA sekarang adalah : IPA, IPS dan Bahasa. Dari ketiganya tidak ada yang paling baik, tetapi semua baik. Karena masing-masing jurusan membutuhkan kemampuan dan ketrampilan tertentu yang khas. Berikut Tip untuk memilih jurusan yang tepat:

  1. Kenalilah Bakat/ Potensi Diri : Caranya dengan melihat hasil tes potensi akademik/ IQ yang anda miliki. Kalau anda ragu bertanyalahkepada orang yang ahli. Psikolog atau Konselor. IQ adalah gambaran mendasar dan masih harus mengolah diri. Hasil tes IQ  hanya referensi untuk mengenal kemampuan diri, bukan untuk dasar penjurusan. Setinggi-tingginya IQ / potensi diri kalau kita tidak berusaha mengolah  diri bagai pisau bagus tak diasah.
  2. Kenalilah Minat Anda : Minat adalah atensi, ketertarikan pada sesuatu, tetapi harus rasional. Apa ketertarikan kita pada suatu jabatan/ pekerjaan, tetapi harus disesuaikan dengan kemampuan Riil kita. Kita boleh berkeinginan menjadi arsitek, tetapi apakah kita punya kemampuan yang relevan dibidang itu, misalnya mata pelajaran fisika dan matematika. Kita jangan sampai punya obsesi yang tidak punya dasar.
  3. Buktikan Secara Riil : Hal paling absolut dalam penentuan pilihan jurusan adalah prestasi riil kita. Bakat, minat boleh kita kombinasi dengan prestasi riil kita. Kita boleh berbakat dan berminat di jurusan IPA tetapi harus dapat ditunjukan dalam prestasi riil, yaitu nilai mata pelajaran yang kita capai.
  4. Konsultasi : Rajinlah konsultasi kepada konselor, wali kelas dan orang tua. karena peran mereka akan sangat penting dalam memilih jurusan di SMA.

Posted in Uncategorized | 1 Comment »